Filosofi Cermin
UM Surabaya

*)Oleh: Sulton DW
Wakil Ketua Bidang Dikdasmen PCM Krian Sidoarjo

Tema Filosofi Cermin ini diangkat penulis yang sekaligus didapuk sebagai narasumber menarik untuk diulas. Tema ini disampaikan pada momen kegiatan rutin Badan Koordinasi Masjid dan Musholla (BKMM) Muhammadiyah Kabupaten Sidoarjo yaitu Safari Ahad Subuh (SAS) yang digelar pada Ahad (27/10/2024) pagi di Masjid Al Muhtadin komplek SMK Pemuda dibawah naungan PCM Kecamatan Krian.

Secara harfiah, cermin bermakna alat atau media yang bisa memantulkan atau merefleksikan sesuatu yang ada didepannya. Tampilannya jujur apa adanya. Tipenya ada yang datar, cekung, dan cembung sesuai fungsinya. Bisa pula bulat, kotak, lonjong, dan sebagainya dari sisi bentuk.

Sifat reflektif cermin itu memantulkan cahaya bila terkena sinar atau cahaya. Sehingga membuatnya terlihat mengilap atau berkilau di bawah cahaya, meskipun sebenarnya cermin sendiri tidak memancarkan cahaya, melainkan hanya memantulkannya.

Berkaitan dengan tema cermin, hadits yang diriwayatkan Abu Daud RA, bisa kita kupas secara singkat dan ambil pelajaran. Nabi bersabda: الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ

“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudara mukmin lainnya.”

Maka setiap mukmin mempunyai potensi untuk menjadi cermin. Terutama yang memiliki  pantulan yang ‘berkilau’ maka ia masuk nominasi yang bisa dijadikan cerminan, tidak hanya dalam aspek lahiriyah saja tapi  juga bathiniyah atas nama pribadi, jama’ah atau organisasi.

Dalam konteks sosial dan mu’amalah, cermin berperan sebagai alat  untuk:

1) introspeksi (evaluasi, refleksi, kontemplasi)

2) menumbuhkan empati (solidaritas, kepedulian)

3) membentuk identitas atau jati diri

4) menunaikan tanggung jawab sosial, yang semuanya berkontribusi pada keseimbangan dan keharmonisan dalam masyarakat.

  1. Alat Introspeksi, evaluasi, refleksi, dan kontemplasi

Cermin merefleksikan keadaan benda di hadapannya. Seorang mukmin khususnya, diharapkan dapat menjadi sarana bagi saudaranya untuk melihat kekurangan diri mereka sendiri. Dengan kata lain, seorang mukmin bertindak sebagai pengingat bagi saudaranya jika ia melakukan kesalahan, dan juga sebaliknya.

Ini menunjukkan pentingnya saling menasihati dalam kebaikan dan katakwaan. Tidak ada yang sempurna selain Allah dan RasulNya, sehingga sesama mukmin harus saling membantu dalam memperbaiki diri dalam kapasitas dan kompetensi masing-masing menjadi pribadi yang kamil dan rahmatan lil ‘alamin.

Dalam surat Al-Ma’idah ayat 2, Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaan-Nya.”
(Surat Al-Ma’idah: 2)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: يُبْصِرُ أَحَدُكُمُ الْقَذَى فِي عَيْنِ أَخِيهِ، وَيَنْسَى الْجِذْعَ فِي عَيْنِهِ

“Seseorang di antara kalian melihat kotoran kecil (seperti debu) di mata saudaranya, tetapi ia lupa dengan balok yang ada di matanya sendiri.” (HR. Bukhari)

Umar bin Khattab pun pernah menyampaikan: حَاسِبُوا أَنفُسَكُمْ قَبْلَ أَن تُحَاسَبُوا وَزِنُوهَا قَبْلَ أَن تُوزَنُوا

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan timbanglah (amal) kalian sebelum (amal) kalian ditimbang.” Ibarat kata pepatah, “Gajah dipelupuk mata tak tampak, semut diseberang lautan tampak.

  1. Alat memupuk empati, solidaritas, dan kepedulian

Filosofi cermin dalam hadits ini juga menekankan pentingnya empati. Seorang mukmin harus merasakan apa yang dialami oleh saudaranya, baik dalam suka maupun duka. Ketika seorang mukmin melihat kekurangan pada saudaranya, dia harus menegurnya dengan cara yang bijak, bukan dengan cara merendahkan atau bahkan menyakiti.

Seperti cermin yang memberikan pantulan tanpa komentar. Sebab tidak semua yang kita lihat harus dikomentari. Tidak semua yang kita dengar dibicarakan. Ada konsekwensi moral dan sosial ketika kita memberi komentar yang bukan kapasitas kita.

Sebagaimana Firman Allah dalam Al Quran surat Al Isro’ ayat 36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

Dalam konteks empati, solidaritas, dan kepedulian ada satu (1) ayat dan dua (2) hadits Rasulullah yang bisa menjadi motivasi bagi setiap mukmin.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah ayat 71)

Hadits pertama;  وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ

“Allah akan selalu menolong seorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Hadits kedua; مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta, kasih sayang, dan empati di antara mereka adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, seluruh tubuh merasakan sakit, dengan tidak bisa tidur dan demam.”
(HR. Bukhari Muslim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini