Bersyukur, Jalan Menuju Kebahagiaan Sejati
foto: linkedin
UM Surabaya

*) Oleh: Imron Nur Annas, MH,
Anggota Majelis Tabligh PDM Kabupaten Nganjuk

Kata syukur berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar “syakara” yang artinya berterima kasih. Bentuk masdar dari kalimat ini adalah syukr, syukraan, yang berarti rasa terima kasih.

Secara bahasa, syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas apa yang dilakukannya. Syukur adalah kebalikan dari kufur. Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat, sedangkan kufur adalah menyembunyikannya (Atabik, 1999: 1143).

Syukur juga dapat diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah atas segala nikmat yang telah diterima, dan dapat dilakukan dengan tiga cara:

Bersyukur dengan hati, yaitu merasa puas atas nikmat atau anugerah-Nya.
Bersyukur dengan lisan, yaitu mengakui nikmat atau anugerah-Nya dan memuji-Nya dengan mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi Allah).
Bersyukur dengan perbuatan, yaitu memanfaatkannya sesuai dengan tujuan-Nya (Abu Muhammad, 2009: 292-293).

Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan bahwa syukur adalah tempat pelabuhan yang paling tinggi serta lebih tinggi dibandingkan dengan ridha. Karena ridha adalah bagian dari proses syukur; akan ada rasa kurang jika syukur tidak disertai dengan adanya ridha. Oleh karena itu, syukur merupakan bagian dari separuh iman, sedangkan separuh lainnya adalah sabar. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan lima aspek syukur:

Tunduk terhadap Allah atas nikmat yang disyukuri.
Senantiasa mencintai pemberian nikmat Allah.
Mengakui nikmat yang diberikan Allah.
Memuji Allah atas nikmat yang diberikan.
Tidak memakai nikmat tersebut dalam hal yang dibenci Allah.
Kelima aspek tersebut adalah hakikat syukur. Jika salah satu aspek di antaranya hilang, maka syukur menjadi tidak lengkap dan tidak sempurna (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, 1998: 288).

Menurut Imam Al-Ghazali, syukur adalah menggunakan nikmat yang diperoleh pada segala hal yang disukai Allah. Untuk memahami yang dicintai Allah, kita perlu memahami bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu di dunia, baik suka maupun duka. Segala hal tersebut mengandung hikmah yang memiliki tujuan dan maksud; jika manusia mampu menangkap maksud tersebut dengan baik, maka itulah yang dicintai-Nya (al-Ghazali, 1977: 317).

Dalam kitabnya, Ibn-Athaillah, yang dikutip oleh Abdul Hamid Mahmud, pernah berkata, “Jangan banyak mengeluh, agar hati tidak didatangi kegalauan, tetapi perbanyaklah mengucapkan rasa syukur karena hal itu akan mendatangkan kebahagiaan.” Kaidah umumnya adalah, kenalilah Allah, dan jadilah apa yang kamu mau. Karena dengan mengenali Allah, hati hamba akan selalu terpaut dan dipenuhi cinta kepada-Nya; karena hal itu, tidak ada yang datang kepadanya kecuali berbagai macam anugerah (Moh. Yusni Amru G, 2017: 78).

Ada pertanyaan yang harus direnungkan bersama: Di antara orang yang bersyukur dan bersabar, manakah yang lebih utama? Jawabannya adalah orang yang bersyukur lebih utama, berdasarkan firman Allah dalam QS. Saba ayat 13, yang artinya, “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” Maka, Allah menempatkan mereka yang bersyukur dalam posisi yang sangat istimewa. Dalam hal bersyukur, Allah memuji hamba-Nya Nabi Nuh a.s. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 3: “Anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.”

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini