Apakah Kita Benar-Benar Beriman? Sebuah Refleksi dari Imam Hasan Basri
Rifqi Rosyidi
UM Surabaya

*) Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag,
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur, Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran

“Apakah kamu benar-benar beriman?” Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Imam Hasan Basri, seorang ulama besar yang terkenal dengan keluasan ilmunya, ketekunan dalam ibadah, dan ketulusan dalam zuhud.

Meski bernada provokatif, Imam Hasan Basri menyikapinya dengan tenang dan bijak, menunjukkan keteladanan yang sangat berbeda dari reaksi emosional yang mungkin muncul di era media sosial saat ini.

Alih-alih marah atau membuat klarifikasi panjang, beliau memberikan jawaban yang menyejukkan, mengajak si penanya untuk lebih introspektif.

Ketika seseorang mempertanyakan keimanan Imam Hasan Basri dengan provokasi “Apakah kamu orang yang beriman?”—pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak”—beliau menjawab dengan cara yang menginspirasi.

Beliau berkata, “Jika yang kamu maksud adalah iman pada rukun iman yang enam, maka saya yakin saya beriman. Namun, jika yang dimaksud adalah seperti yang digambarkan dalam Surat Al-Anfal ayat 2, maka saya tidak tahu pasti apakah saya termasuk orang beriman yang seperti itu.”

Dalam Al-Anfal ayat 2, Allah SWT menyebutkan bahwa orang-orang beriman adalah mereka yang hatinya bergetar ketika mendengar nama Allah, yang imannya bertambah kuat dengan ayat-ayat-Nya, dan yang selalu bertawakal kepada-Nya.

Hal ini juga ditegaskan dalam Surat As-Sajdah ayat 15: “Sesungguhnya orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diingatkan tentangnya segera sujud bersimpuh dan bertasbih memuji Tuhan mereka, dan mereka tidak menyombongkan diri.”

Selain itu, dalam Surat Al-Furqan ayat 73, disebutkan bahwa hamba-hamba Allah adalah mereka yang mendengarkan ayat-ayat Allah dengan seksama dan tidak menyikapinya seperti orang yang tuli dan buta.

Jika kita telaah kehidupan Imam Hasan Basri, yang tercatat dalam berbagai literatur sejarah, kita dapat melihat bahwa semua kriteria orang beriman yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut terpenuhi dalam dirinya.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa Hasan Basri adalah contoh sejati dari orang beriman yang sesungguhnya, dengan kualifikasi ulāika hum al-mu’minūna Haqqan (mereka itu orang mu’min dengan iman yang sebenar-benarnya).

Kualitas iman inilah yang menjadikan para ulama salaf, termasuk Imam Hasan Basri, selalu merendah dan menciptakan narasi-narasi yang menyejukkan dan mencerahkan.

Keluasan ilmu dan kejernihan hati dalam memahami teks-teks agama menambah rasa takut kepada Allah yang Maha Mengetahui, sehingga tidak pernah membuat mereka membanggakan diri dan merasa lebih baik dari yang lain.

Imam Ahmad menuturkan salah satu sisi kehidupan seorang tabiin bernama Al-Rabi’ bin Khutsaim al-Tsawri ketika ditanya: “Bagaimana keadaanmu?” Beliau selalu menjawab, “Saya ini lemah tidak berdaya dan banyak dosa. Sehari-hari hanya bisa makan dari rezeki yang sudah disiapkan Allah, sambil menunggu ajal datang menjemput” (ashbahnā dlu’afā’ mudznibīn, na’kulu arzāqanā wa nantadziru ājālanā).

Menutup jawabannya, Hasan Basri dengan rendah hati mengatakan: “Semoga saya termasuk orang yang beriman dengan kriteria Surat Al-Anfal di atas.”

Kerendahan hati adalah identitas orang beriman dan menjadi tolok ukur kebaikan seseorang.

Oleh karena itu, di akhir Surat Al-Furqan, ketika mengidentifikasi sifat-sifat orang beriman, Allah SWT memulainya dengan ayat: “alladzīna yamsyūna ‘alā al-ardli hawnan” (mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati).

Sebaliknya, sifat sombong adalah kunci dari semua sifat tercela yang bertentangan dengan nilai-nilai keimanan dan menjadi penyebab kebinasaan Fir’aun dan Qarun.

Mari kita introspeksi diri dengan pertanyaan yang sama: Sudah berimankah kita? Sudahkah kita memenuhi standar iman yang disebutkan dalam Al-Quran? (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini