Menjauhi Maksiat sebagai Bentuk Terima Kasih kepada Allah
foto: reconciledworld
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Ajang Kusmana

Setiap hembusan nafas, detak jantung, dan kedipan mata kita adalah bukti kenikmatan yang Allah عَزَّ وَجَلَّ karuniakan kepada hamba-hamba-Nya.

Nikmat ini tidak hanya terbatas pada hal-hal materi, melainkan juga meliputi hal-hal yang imateri.

Harta, anak-anak, dan tempat tinggal adalah contoh kenikmatan materi, sedangkan ketenangan hati, kesehatan, dan kesempatan beribadah adalah kenikmatan imateri yang mengisi batin kita.

Jika keduanya—materi dan imateri—bersatu dalam kehidupan seorang hamba, itu adalah anugerah luar biasa.

Namun, banyak dari kita yang akan memilih ketenangan batin daripada kekayaan materi, karena ketentraman hati jauh lebih berharga daripada segala harta, apalagi jika harta hanya membawa kegelisahan.

Allah mengingatkan kita untuk mensyukuri semua nikmat yang diberikan. Bersyukur bukan hanya ucapan, tetapi juga menjaga dan menggunakannya dengan baik.

Sayangnya, ada orang yang justru menjadi lalai setelah diberikan kenikmatan, hingga akhirnya mereka jatuh ke dalam kesombongan dan mengundang azab.

Allah berfirman dalam QS. Ibrahim: 34,

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya.”

Bahkan, jika seluruh lautan dijadikan tinta, tetap tidak cukup untuk menuliskan seluruh nikmat Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi: 109,

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

“Katakanlah (Muhammad), ‘Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”

Nikmat yang tidak dijaga dengan syukur dapat berubah menjadi bencana. Setiap keberhasilan, kesehatan, atau kesempatan haruslah dijalani dengan syukur sebagai bentuk perlindungan dari murka Allah.

Abu Hazim mengatakan,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah musibah.”

Syukur sejati, seperti dikatakan oleh Makhlad bin Al Husain:

الشُكْرُ تَرْكُ المعَاصِي

“Syukur adalah dengan meninggalkan maksiat.”

Ibn Taimiyah menegaskan:

وَأَنَّ الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ

“Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan, dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.”

Mari kita jadikan syukur sebagai kekuatan untuk menjauhi maksiat, mengakui nikmat Allah di dalam hati, serta menggunakan lisan dan anggota tubuh kita untuk tetap dalam jalan kebaikan. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini