Menyibak Kritis: Mengupas Otentikasi Hadis dalam Islam
foto: thethinkingmuslim
UM Surabaya

*) Oleh: Donny Syofyan,
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya sedang membaca sebuah buku yang berjudul Authentication of Hadith: Redefining the Criteria (2010) karya Israh Ahmad Khan. Apa sebenarnya yang dibahas dalam buku ini?

Buku ini mengupas secara mendalam tentang hadits dan kriteria yang digunakan oleh para ulama Muslim terdahulu untuk menilai keabsahan sebuah hadits.

Para ulama besar seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim melakukan perjalanan panjang untuk mengumpulkan hadits, yang berisi catatan kecil tentang kehidupan Nabi Muhammad saw.

Setiap hadits mengandung rekaman tentang apa yang beliau katakan, lakukan, atau saksikan, yang kemudian menjadi landasan hukum dalam Islam. Namun, tidak semua informasi dapat diterima begitu saja.

Oleh karena itu, para ulama meneliti setiap hadits dengan sangat teliti. Mereka akan bertanya kepada orang yang menyampaikan hadits tersebut, “Siapa yang memberitahu Anda? Anda hidup di zaman saya, Anda tidak bertemu Nabi SAW dan saya juga tidak. Jadi, dari mana Anda mendapatkan informasi ini?”

Selanjutnya, orang tersebut akan menyebutkan nama guru atau orang yang menjadi sumber informasinya, dan proses verifikasi terus berlanjut. “Jangan hanya beritahu kami siapa yang Anda kenal, dari siapa guru Anda mendapatkannya? Karena dia juga tidak bertemu Nabi Muhammad saw, maka dari mana dia mendapatkannya?”

Pertanyaan ini berlanjut, sehingga rantai narasi terus diusut hingga mencapai sumber aslinya, yaitu Nabi Muhammad SW. Dengan cara ini, sebuah hadits dikonfirmasi melalui rantai informan yang terhubung langsung hingga ke Nabi.

Pada masa awal pengumpulan hadits, fokus utama para kolektor adalah pada keaslian rantai perawi. Keterbatasan pemahaman pada zaman itu membuat mereka kurang kritis terhadap isi hadis itu sendiri.

Namun, buku ini mengajak kita untuk melihat kembali hadis-hadis tersebut dan menilai kewajaran isinya.

Apakah ada contoh dari pendekatan ini? Tentu saja. Beberapa sahabat Nabi, terutama Aisyah, juga melakukan hal serupa.

Ketika mendengar hadis yang dirasa tidak masuk akal, Aisyah akan mempertanyakannya. Bukan mempertanyakan Nabi, melainkan mempertanyakan orang yang meriwayatkan hadis tersebut.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini