Harta yang Diinfakkan
UM Surabaya

*) Oleh: Muhammad Nashihudin, MSi
Ketua Majelis Tabligh PDM Jakarta Timur

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَسْــئَلُوْنَكَ مَا ذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَاۤ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَا لِدَيْنِ وَا لْاَ قْرَبِيْنَ وَا لْيَتٰمٰى وَا لْمَسٰكِيْنِ وَا بْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِ نَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan. Katakanlah, “Harta apa saja yang kamu infakkan, hendaknya diperuntukkan bagi kedua orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.” Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 215)

Harta yang dinfakkan oleh seorang suami kepada keluarga yaitu anak dan istri lebih besar pahalanya daripada infaq sedekah yang lain dengan tujuan agar keluarga tidak kekurangan dan meminta minta serta memenuhi keluarga sehat.

Sebaik baiknya seorang suami adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya sebagaimana Rasulullah Saw juga berbaikan dengan seluruh keluarga dan ummatnya.
Seorang Muslim tidak boleh malas untuk bekerja dan pelit terhadap istrinya.
Mentadabburi ayat ayat berikut ini untuk mendapatkan ridaNya menuju kelurga sakinah mawadah warahmah.

1. Suami sebagai tulang punggung keluarga

اَلرِّجَا لُ قَوَّا مُوْنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَاۤ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَا لِهِمْ ۗ فَا لصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗ وَا لّٰتِيْ تَخَا فُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَا جِعِ وَا ضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِ نْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَا نَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 34)

2. Kerja keras untuk mendidik anak anak agar mereka menjadi generasi yang terbaik

اَلْمَا لُ وَ الْبَـنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَا لْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَا بًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 46)

3. Harta jangan sampai mencelakakan keluarga

يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَا لُكُمْ وَلَاۤ اَوْلَا دُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”
(QS. Al-Munafiqun 63: Ayat 9)

4. HADITS KE-932
Kewajiban suami

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( دَخَلَتْ هِنْدُ بِنْتُ عُتْبَةَ -اِمْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ- عَلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم . فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ اَلنَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ, إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ, فَهَلْ عَلَِيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ? فَقَالَ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ, وَيَكْفِي بَنِيكِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari ‘Aisyah RA, ia berkata, “Hindun Binti ‘Utbah, isteri Abu Sufyan menemui Rasulullah SAW seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki yang pelit (kikir), tidak memberikan nafkah kepadaku dengan nafkah yang mencukupi untukku dan anakku kecuali dari apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena hal itu.?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ambillah dari hartanya dengan cara ‘ma’ruf’ apa yang cukup buatmu dan anakmu.’” (Muttafaqun ‘alaih)

KOSA KATA

Makna Ma’ruf : Tradisi dan adat, yakni sesuai dengan kondisi manusia dan tradisi yang berlaku di antara sesama mereka yang berbeda-beda dari sisi waktu, tempat, kemudahan dan kesulitan.

INTISARI HADITS

Dari hadits di atas, para ulama menyerap banyak sekali hukum, di antaranya:

1. Wajibnya memberi nafkah (uang belanja) kepada isteri dan anak-anak. Nafkah ini diemban secara khusus atas seorang ayah (suami) dan tidak dapat dibebankan kepada sang ibu (isteri) atau kerabat dekat.

2. Ukuran nafkah itu disesuaikan dengan kondisi keuangan sang suami dan orang yang menafkahi, dilihat dari aspek kekayaan, kefakiran dan kemudahan rizkinya.

3. Nafkah itu hendaknya berlaku secara ma’ruf. Artinya sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku dan ini tentunya berbeda-beda dari sisi waktu, tempat dan kondisi manusia.

4. Siapa yang sudah diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah, namun tidak memberi nafkah kecuali dengan sangat bakhil, maka boleh diambil dari hartanya walalu pun tanpa sepengetahuannya sebab ia merupakan nafkah yang wajib atasnya.

5. Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas hajat orang banyak (sebagai penguasa), maka penentuan ukuran besarnya nafkah itu ditentukan menurut pendapatnya sebab ia lah orang yang diberi amanah dan memiliki kekuasaan (berwenang) atas hal itu.

6. Para ulama berbeda pendapat mengenai: apakah perintah Nabi SAW kepada Hindun untuk mengambil harta suaminya itu dinilai sebagai suatu putusan hukum sehingga kondisi ini adalah dalam rangka putusan hukum berdasarkan kejadian yang dominan, ataukah ia dinilai sebagai fatwa? Para ulama mengatakan, kisah Hindun ini mengandung dua kondisi antara keduanya; ia sebagai fatwa sekali gus juga putusan hukum.

Tetapi kondisinya sebagai fatwa lebih dekat (tepat) sebab beliau SAW tidak menuntutnya (Hindun) untuk menghadirkan alat bukti atau memintanya agar bersumpah padahal Abu Sufyan sendiri masih ada di tempat alias tidak sedang ke luar kota. Sedangkan bila memang ia sebagai putusan hukum, maka semestinya dihadiri oleh kedua orang yang bersengketa tetapi dalam hadits itu, tidak terjadi (alias yang hadir hanya Hindun, isteri Abu Sufyan)

8. Pengaduan seperti itu dan semisalnya bukanlah merupakan benuk ghibah (gunjingan) yang diharamkan sebab Hindun mengadukan perkaranya kepada pihak yang berwenang (Rasulullah SAW), yang mampu berlaku adil terhadapnya serta dapat menghilangkan kezhaliman yang dialaminya.

9. Hadits tersebut mengandung makna umum, yaitu wajibnya memberi nafkah kepada anak-anak sekali pun mereka sudah besar (dewasa). Allah berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (QS.al-Baqarah:233)

10. Hadits tersebut merupakan bukti bahwa orang yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemenuhan sesuatu yang sudah menjadi haknya, maka ia boleh mengambilnya sekali pun dengan cara diam-diam. Hal ini diistilahkan para ulama dengan masalah Zhafar, yang merupakan masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan).

Dalam hal ini, Imam asy-Syafi’i dan Ahmad membolehkannya sementara Imam Abu Hanifah dan Malik melarangnya. Pendapat yang kuat (rajih) adalah harus dirinci dulu; Artinya, bila sebab adanya hak itu memang jelas dan terang, maka si punya hak boleh mengambilnya karena sudah tidak ada syubhat lagi, sedangkan bila sebabnya masih samar, maka tidak boleh agar ia tidak dituduh melanggar hak orang lain.

(SUMBER: Tawdhiih al-Ahkaam Syarh Bulugh al-Maraam karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam, Jld.V, hal.131-132)

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini