*)Oleh: Gus Imam
Anggota KMM Magetan
Di tengah dinamika politik lokal yang mengguncang berbagai pelosok negeri, kader Muhammadiyah dihadapkan pada ujian moral dan intelektual yang sangat krusial. Pemilihan kepala daerah serentak bukan hanya sekadar panggung elektoral, tetapi juga medan tempur ideologis yang menuntut keberanian untuk mempertahankan prinsip, kejujuran, dan akhlak mulia.
Dunia politik, dengan segala intriknya adalah arena di mana nilai-nilai keimanan diuji—antara tetap teguh pada prinsip atau tergelincir dalam arus pragmatisme yang menggerogoti esensi perjuangan untuk kebenaran.
Sebagai gerakan Islam yang berlandaskan tajdid dan amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral yang besar. Setiap kader yang terjun dalam kontestasi politik tidak hanya membawa nama pribadi, tetapi juga nama besar organisasi yang telah lama menjadi pilar peradaban bangsa. Politik yang kotor—dengan wajahnya yang kejam seperti suap-menyuap, fitnah, hoaks, dan adu domba—adalah antitesis dari nilai-nilai Muhammadiyah. Bersekutu dengan politik hitam sama saja dengan mencoreng kredibilitas gerakan ini sebagai lokomotif dakwah pencerahan.
Dalam paradigma Islam, politik bukan hanya seni merebut kekuasaan (politics of power), tetapi juga amanah untuk menegakkan keadilan (politics of justice). Kader Muhammadiyah yang berjiwa kesatria harus menjadikan setiap langkah politiknya sebagai manifestasi dari keimanan dan akhlak mulia. Hal ini berarti menjauhkan diri dari praktik kecurangan yang mengorbankan prinsip, menolak kooptasi oligarki yang merampas otonomi moral, dan meninggalkan retorika populisme murahan yang hanya menyulut konflik horizontal.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Katakanlah: Wahai Tuhan Yang memiliki kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau menghinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 26)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa hasil akhir dari setiap kontestasi politik telah berada dalam skenario ilahiah yang telah tertulis sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Oleh karena itu, kemenangan atau kekalahan dalam pemilu bukanlah parameter keberhasilan. Yang terpenting adalah bagaimana setiap kader menjaga martabat, integritas, dan kehormatan di hadapan Allah dan manusia.
Di era digital saat ini, tantangan semakin kompleks. Teknologi informasi, yang seharusnya menjadi alat penyebaran dakwah dan edukasi politik, sering kali disalahgunakan sebagai senjata untuk menyebarkan hoaks dan memanipulasi opini publik. Kader Muhammadiyah harus menjadi pelopor dalam literasi digital dan etika bermedia. Gunakan algoritma kebaikan untuk menyebarkan narasi konstruktif, bukan menjadi agen provokasi yang merusak.
Mengutip nilai-nilai falsafah Muhammadiyah, kita harus menghidupkan kembali spirit al-akhlak al-karimah dalam setiap aktivitas politik. Keteladanan Rasulullah dalam memimpin masyarakat Madinah adalah prototipe ideal yang seharusnya menjadi pedoman. Politik yang dijiwai oleh iman akan melahirkan keberanian untuk berkata benar, sekalipun itu pahit.
Tidak ada ruang bagi kader Muhammadiyah untuk menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir. Dalam teori demokrasi modern, kekuasaan adalah instrumen untuk menciptakan kemaslahatan publik. Oleh karena itu, orientasi kader haruslah tetap pada nilai maslahah ammah—kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan keberlanjutan pembangunan yang berkeadaban.
Wahai kader Muhammadiyah, sejarah mencatat bagaimana kalian merumuskan masa depan politik Indonesia. Jadilah aktor perubahan yang menolak tunduk pada logika transaksional dan pragmatisme. Buktikan bahwa politik dapat menjadi instrumen untuk menegakkan nilai-nilai luhur, bukan sekadar perebutan tahta yang memecah belah umat.
Dengan demikian, perjuangan politik yang kalian tempuh tidak hanya akan dicatat oleh manusia, tetapi juga oleh malaikat. Jadikanlah setiap langkah sebagai bentuk ibadah, di mana kalian memegang teguh prinsip bahwa yang menentukan segalanya bukanlah manusia, tetapi Allah yang Maha Memiliki Kekuasaan.
Fastabiqul Kharat! Mari Bermartabat! (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News