*)Oleh: Agus Budiharso
Kepala Pusat Kajian Bencana dan Pengembangan Sumber Daya Alam Universitas Prisma
Indonesia, sebuah negeri kepulauan yang berada di garis khatulistiwa, kembali dihadapkan pada kenyataan pahit di tahun 2024: 1.238 kejadian bencana alam terjadi hingga Agustus. Sebuah angka yang tidak hanya mencerminkan kerugian, tetapi juga pengingat keras tentang rentannya negeri ini terhadap dampak perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kurangnya mitigasi yang terintegrasi.
Data yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan bahwa sebagian besar bencana di Indonesia pada tahun ini adalah bencana hidrometeorologi, yang menyumbang 98,95% dari total kejadian. Mulai dari banjir, cuaca ekstrem, karhutla (kebakaran hutan dan lahan), hingga kekeringan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh ekosistem tetapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat. Tercatat lebih dari 4 juta orang terdampak langsung oleh bencana ini, dengan ratusan jiwa melayang, ribuan terluka, dan ribuan lainnya kehilangan rumah serta akses terhadap fasilitas dasar seperti pendidikan dan layanan kesehatan.
Sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam, kenyataan ini seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua untuk melihat ke dalam: Apa yang salah dalam cara kita mengelola lingkungan? Bagaimana kita dapat membangun masa depan yang lebih tangguh terhadap bencana?
Tajuk ini bertujuan untuk merefleksikan data bencana 2024 sebagai pelajaran penting, serta merumuskan langkah-langkah yang harus diambil oleh semua pihak untuk membangun Indonesia yang lebih kuat di masa depan.
Dominasi Bencana Hidrometeorologi: Alarm Perubahan Iklim yang Kian Mengkhawatirkan
Sebagai negara yang terletak di zona tropis dengan kondisi geografi yang kompleks, Indonesia secara alami rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Namun, data tahun ini menunjukkan peningkatan frekuensi dan dampak bencana yang signifikan. Banjir, yang mencatatkan 733 kejadian, menjadi bencana paling dominan di tahun 2024. Kejadian ini menyasar wilayah-wilayah padat penduduk seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu, 195 kejadian cuaca ekstrem semakin memperparah kondisi masyarakat, terutama di wilayah pesisir dan dataran rendah yang sudah sejak lama menghadapi tantangan banjir rob dan abrasi.
Apa yang menyebabkan peningkatan ini? Jawabannya terletak pada kombinasi dua faktor: perubahan iklim global dan degradasi lingkungan lokal. Perubahan iklim telah menggeser pola curah hujan dan meningkatkan intensitas badai tropis, sementara pengelolaan lingkungan yang buruk—terutama deforestasi dan alih fungsi lahan—mengurangi kapasitas tanah untuk menyerap air hujan. Akibatnya, banjir yang dulu mungkin hanya terjadi di musim tertentu kini menjadi ancaman sepanjang tahun.
Namun, banjir hanyalah salah satu dari banyak wajah bencana yang kita hadapi. Karhutla, dengan 173 kejadian pada tahun ini, menjadi ancaman besar lainnya, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran ini tidak hanya menghancurkan ribuan hektar lahan, tetapi juga menciptakan krisis kesehatan akibat kabut asap yang meluas hingga lintas negara. Di sisi lain, kekeringan yang terjadi sebanyak 28 kali sepanjang tahun ini menambah tantangan bagi ketahanan pangan, terutama di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara dan Papua.
Dampak Bencana: Kehancuran yang Menyentuh Segala Aspek Kehidupan
Bencana-bencana yang terjadi sepanjang 2024 tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga menghancurkan kehidupan masyarakat. Dari data yang ada, lebih dari 40.000 rumah mengalami kerusakan, dengan rincian 6.817 rumah rusak berat, 7.560 rusak sedang, dan 25.860 rusak ringan. Selain itu, fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas kesehatan juga tak luput dari dampaknya.
Kerusakan infrastruktur ini bukan hanya soal kehilangan fisik, tetapi juga kehilangan kesempatan. Anak-anak yang sekolahnya rusak terancam kehilangan pendidikan, sementara rumah ibadah yang hancur menghilangkan tempat berlindung spiritual bagi masyarakat. Fasilitas kesehatan yang rusak memperburuk situasi pascabencana, di mana korban luka-luka sulit mendapatkan pertolongan medis yang memadai.
Lebih parahnya, data juga menunjukkan bahwa lebih dari 4 juta orang terdampak dan terpaksa mengungsi akibat bencana ini. Angka ini tidak hanya mencerminkan skala kerusakan, tetapi juga tekanan sosial dan ekonomi yang harus dihadapi oleh para korban. Mereka kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman, yang semuanya memerlukan waktu lama untuk dipulihkan.
Korban jiwa pun tidak sedikit. Hingga Agustus 2024, tercatat 327 orang meninggal dunia, 47 orang hilang, dan 697 orang terluka. Setiap angka ini mewakili nyawa manusia—keluarga, sahabat, dan masyarakat yang meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang ditinggalkan.
Bencana Geologi: Ancaman yang Selalu Mengintai
Meskipun hanya menyumbang 1,05% dari total kejadian, bencana geologi seperti gempa bumi dan erupsi gunung api tetap menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Dengan 10 kejadian gempa bumi dan 3 erupsi gunung api, wilayah Indonesia yang berada di “Cincin Api Pasifik” selalu berpotensi menghadapi kehancuran besar dalam waktu singkat.
Kesiapsiagaan menghadapi bencana geologi ini masih menjadi tantangan besar. Meskipun ada kemajuan dalam sistem peringatan dini, seperti tsunami early warning system, banyak daerah yang masih minim infrastruktur untuk mengurangi dampak bencana. Selain itu, masyarakat di daerah rawan gempa sering kali tidak memiliki akses terhadap edukasi dan pelatihan mitigasi bencana, yang membuat mereka lebih rentan ketika bencana terjadi.