Elegi Guru Ngaji: Laskar Sunyi di Tengah Badai Zaman
UM Surabaya

*)Oleh: Imam Yudhianto, SH, SE, S.Pd, MM
Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Magetan

Di tengah hiruk-pikuk modernitas yang memahatkan jarak antara nilai dan realitas, hadir sosok guru ngaji—figur sederhana namun penuh cahaya. Mereka adalah aktor senyap dalam pentas sosial yang sering terlupakan, menjalankan peran transformatif tanpa pamrih dan tanpa gembar-gembor.

Dalam peradaban yang sering kali lebih terpukau pada kilau artis, pesona selebritas, atau gemuruh teknologi mutakhir, guru ngaji tetap berdiri di garis depan, menghidupkan lentera pendidikan akhlak di tengah kegelapan zaman.

Guru ngaji ibarat seorang artis, bukan dalam artian duniawi yang mencari sorotan lampu panggung, tetapi dalam makna spiritual yang mendalam. Anak-anak yang mengelilinginya adalah para “penggemar” kecil yang polos, menyerap setiap bait doa dan ayat suci layaknya penonton yang terpukau oleh pertunjukan kebaikan. Meski isi kantong mereka sering kali tipis dan upah yang diterima sekadar untuk mengais kehidupan sehari-hari, semangat mereka tidak pernah layu. Mereka pantang meringis di hadapan kerasnya kenyataan hidup karena iman mereka menjadi jangkar yang menambatkan hati pada keteguhan.

Dalam sisi lain, guru ngaji adalah penceramah yang tidak hanya menyampaikan kata-kata tetapi juga menanamkan teladan. Sikap ramah menjadi kekuatan utama mereka dalam membimbing, sementara marah adalah pantangan yang hanya diperuntukkan untuk kemungkaran.

Dengan imbalan yang kadang hanya berupa secangkir kopi atau teh, atau bahkan ucapan terima kasih yang murah, mereka tetap berbisik penuh syukur, “Alhamdulillah.” Bagi guru ngaji, kebahagiaan sejati tidak terletak pada nominal, tetapi pada keberlanjutan nilai yang tertanam di hati anak-anak didiknya.

Namun, tanggung jawab mereka melampaui sekadar penyampai materi agama. Mereka adalah pejabat pendidikan moral yang memikul tugas berat: mencetak generasi yang berprestasi dan hebat. Walaupun gaji sering kali tidak didapat, mereka tetap teguh karena keyakinan bahwa tugas mereka adalah investasi abadi untuk kehidupan dunia dan akhirat. Dalam setiap doa yang dipanjatkan, mereka menggantungkan harapan agar keikhlasan mereka berbuah manfaat bagi umat.

Di era yang didominasi oleh teknologi dan kapitalisme, guru ngaji adalah bentuk perlawanan simbolis terhadap arus materialisme. Keberadaan mereka adalah pengingat bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga transformasi karakter. Mereka tidak memerlukan big data atau algoritma canggih untuk memahami kebutuhan anak didiknya; hati mereka sudah cukup menjadi kompas yang menunjukkan arah pendidikan moral.

Lebih dari sekadar mendidik, guru ngaji adalah pilar yang menopang peradaban. Ketika dunia sibuk mengukur kesuksesan dengan angka-angka, mereka bekerja dalam dimensi yang tidak terlihat: menciptakan manusia yang memiliki adab sebelum ilmu. Di tengah gelombang individualisme yang semakin membesar, mereka mengajarkan arti kebersamaan melalui doa berjamaah, saling berbagi, dan keikhlasan untuk memberi.

Namun, ketimpangan sosial yang dialami guru ngaji adalah ironi yang mencolok. Di satu sisi, mereka dianggap sebagai figur mulia yang mencetak generasi Qur’ani, tetapi di sisi lain, penghargaan material terhadap mereka sering kali berada di titik nadir. Tidak salah jika dunia perlu melakukan introspeksi: bagaimana mungkin kita mengabaikan mereka yang menjadi penjaga nilai-nilai moral dan spiritual di tengah arus degradasi sosial?

Hari Guru menjadi momen refleksi untuk kembali menempatkan guru ngaji di posisi yang layak, tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga dalam tindakan nyata. Menjadi bangsa yang menghormati guru ngaji berarti menciptakan ekosistem sosial yang mendukung mereka, baik secara moral maupun material. Ini adalah langkah kolektif yang harus dimulai dari setiap individu, masyarakat, hingga pemerintah.

Guru ngaji bukan sekadar pengajar; mereka adalah penyemai nilai, penjaga peradaban, dan pembawa harapan di tengah keterpurukan. Langkah mereka yang sunyi adalah nyanyian perjuangan yang menggema hingga ke langit. Maka, selayaknya kita mengangkat mereka dari keterasingan sosial menuju penghormatan yang pantas.

Untuk para guru ngaji, kalian adalah penjaga peradaban. Dalam setiap lantunan doa yang kalian ajarkan, ada jejak-jejak yang tidak akan hilang oleh waktu. Dan ketika dunia ini berlalu, pahala kalian adalah bukti bahwa pengabdian yang sejati tidak pernah sia-sia. Salam hormat untuk kalian, wahai laskar sunyi yang hebat!

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini