MUJIMAN vs ADI HIDAYAT: Studi Perilaku Keberagamaan Warga Muhammadiyah
UM Surabaya

*)Oleh: Dr Nurbani Yusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

Secara tampilan:
Mujiman merepresentasi kesederhanaan, kepolosan, dai (tarkam) antar kampung dari langgar ke mushala atau masjid-masjid sederhana milik Muhammadiyah.
Ustadz Adi Hidayat menyimbolkan intelektualitas, dari institut ke kampus, jamaahnya kaum terdidik dan terpelajar, kalangan elite dan kelompok kelas atas lainnya.

Secara pemikiran
Mujiman merepresentasi puritanisme. Ideologis. Eksklusif. Menampilkan originalitas, merawat otentitas generik. Sebagian yang tidak suka menyebutnya jumud atau stag.

Adi Hidayat menawarkan dinamisasi pemikiran, inklusif, pembrontakan atas kejumudan, moderasi, intelektualitas, dengan sumber-sumber referensi yang terbuka maka sebagian yang tidak suka menyebutnya sebagai liberal.

Diantara keduanya siapakah yang mujtahid ? Pertanyaan mendasar dan tak perlu dijawab apalagi jika bermaksud mengkomparasi keduanya dengan takaran yang tidak baku hasilnya sudah pasti bias.

^^^^
Saya bukan muttabi’ apalagi mujatahid, saya hanya muqallid. Beberapa saya taqlid pada pendapat ustadz Mujiman beberapa saya taqlid pada ustaz Adi Hidayat.
Dengan tidak saling merendahkan kedua ulama besar itu. Saya hanya hendak melakukan studi perilaku keberagamaan warga Muhammadiyah.

Realitasnya, model keberagamaan jemaah Muhammadiyah adalah kolektif kolegial- bahkan fatwa-fatwa tentang selisih paham keberagamaan juga diputus secara jamaai. Sebab itu Muhammadiyah tak ada ulama populair secara individual.

Jamaah Muhammadiyah hanya mengenal majelis tarjih dan produk fatwanya, tapi tidak mengenal ulamanya secara personal. Sampai detik ini pun, saya tidak mengenal siapa ketua majelis tarjih baik di tingkat pusat atau wilayah meski saya telah baca semua produk fatwanya.

Sebagai perbandingan: kelompok salafi lebih dominan ulama yang berfatwa secara individualistik sebab itu popularitas personal lebih mengemuka ketimbang jamaahnya.

^^^^
Studi prilaku keberagamaan ini memang menarik dicandra setidaknya di era keterbukaan dan suasana egaliter warga Muhammadiyah yang dikenal sangat demokratis bahkan nyaris tanpa sekat.

Ulama dan umat seakan tiada beda sama sekali. Warga Muhammadiyah juga tak punya guru atau guru kultural semacam kyai atau sebutan lainnya yang semisal.

Mujiman dan Adi Hidayat mengisi kekosongan itu, di mana warga Muhammadiyah merindukan sosok panutan yang di-gurukan yang di-kyaikan yang di-ustadzkan. Keduanya adalah khazanah pemikiran.

^^^^
Perilaku keberagamaan warga Muhammadiyah pun juga tak kalah seru. Sebagian ada yang menjadikannya antagonis. Mujiman dan Adi Hidayat hendak dipertentangan dengan berbagai maksud. Ada yang menjadikan sebagai tempat perlindungan dan legitimasi paham-paham keagamaan yang hendak disusupkan, ada yang hanya ingin menjadikannya sebagai rujukan.

Studi keberagamaan jemaah Muhammadiyah ini sangat menarik tapi jarang dilakukan.. Padhang Makhsyar melakukan banyak riset juga untuk mengisisi kekosongan itu.

Acapkali hanya berfatwa tapi tak ada evaluasi sejauh mana fatwa-fatwa bisa diamalkan jemaah Muhammadiyah di akar rumput. Tak ada sama sekali evaluasi tentang efisiiensi dan efektitas fatwa sebab para ulama tarjih hidup di menara gading tidak mengenal umatnya di akar rumput.

Studi ini menggunakan pendekatan fenomenologis dengan jemaah Muhammadiyah sebagai informan, mendasarkan pada pemikiran
Fenomenologi Alfred Schutz:
Studi tentang Konstruksi Makna dan Realitas

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini