*) Oleh: Syafrudin Anhar,
Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah 2010–2015
Wacana Persyarikatan Muhammadiyah untuk kembali mendirikan bank syariah mencuat dan menjadi perbincangan, bukan saja dalam diskusi-diskusi internal, tetapi juga di media sosial.
Secara praktis, Muhammadiyah pernah gagal dalam membangun dan mengelola sebuah bank bernama Bank Persyarikatan.
Kegagalan ini bukan disebabkan oleh rendahnya kepercayaan warga atau masyarakat Muhammadiyah terhadap banknya sendiri, melainkan karena pengalaman dan pengetahuan yang tidak komprehensif dari pimpinan Muhammadiyah pada waktu itu dalam mengelola usaha perbankan.
Kegagalan adalah pelajaran yang mahal, dan dalam dunia usaha, kegagalan dianggap sebagai modal profesionalisme bagi masa depan. Bahkan sering dikatakan bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.
Kesadaran akan arti penting dari sebuah kegagalan menjadi pemicu semangat baru bagi warga Persyarikatan, terutama mereka yang aktif dalam dunia usaha, untuk mendorong Muhammadiyah kembali mendirikan lembaga keuangan berupa bank, khususnya yang benar-benar berbasis syariah.
Semangat tersebut semakin berkobar ketika Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara resmi mengeluarkan internal memo yang menginstruksikan semua warga, amal usaha, dan lembaga Muhammadiyah untuk memindahkan dana mereka dari Bank Syariah Indonesia (BSI) ke bank syariah lainnya.
Instruksi tersebut, yang kemudian menjadi berita nasional, tidak hanya membangkitkan semangat warga Muhammadiyah tetapi juga menarik perhatian berbagai pihak, termasuk simpatisan umat Islam, intelektual, dan eksekutif di dunia keuangan dan perbankan. Dukungan datang dari mereka yang masih aktif hingga pensiunan di sektor ini.