*) Oleh:Imam Yudhianto, SH, SE, SPd, MM
Anggota Korps Mubaligh Muhammadiyah PDM Magetan
Sebuah fakta yang mengguncang kesadaran telah terungkap. Jutaan Muslim di seluruh dunia telah melaksanakan salat ribuan kali sepanjang hidup mereka, namun tidak memahami makna dari bacaan yang mereka lantunkan setiap hari. Fenomena ini menjadi ironi besar di tengah era keterbukaan informasi dan teknologi yang memudahkan akses ilmu pengetahuan.
Betapa tragis, hidup puluhan tahun, mengecap pendidikan tinggi, namun belum menyempatkan diri untuk memahami pesan agung yang terkandung dalam bacaan salat. Ini bukan sekadar masalah linguistik, tetapi krisis spiritual yang mencerminkan jauhnya umat dari inti ajaran Islam.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2). Ayat ini adalah garansi Ilahi bahwa bahasa Al-Qur’an dirancang untuk mudah dipahami oleh siapa saja yang berusaha mendalami maknanya, terlepas dari latar belakang budaya atau kebangsaan. Namun kenyataan berkata lain; kebanyakan umat Islam menjalani salat sekadar sebagai rutinitas, tanpa memahami arti dari bacaan yang diucapkan.
Adakah yang lebih menyedihkan daripada berkomunikasi dengan Tuhan tanpa mengetahui apa yang sedang disampaikan?
Penyebab krisis ini bukan semata karena ketidaktahuan, tetapi juga akibat dari paradigma pendidikan agama yang lebih menitikberatkan pada hafalan dibandingkan pemahaman. Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Ilmu yang tidak disertai pemahaman hanya akan menjadi beban berat di atas pundak manusia.” Salat, yang seharusnya menjadi dialog penuh makna dengan Sang Pencipta, sering kali direduksi menjadi sekadar gerakan fisik tanpa jiwa. Ini adalah tanda kelemahan umat, dan sebuah panggilan untuk kembali menghidupkan esensi salat.
Tidak memahami bacaan salat adalah gejala dari masalah yang lebih besar: ketidaksadaran terhadap tujuan utama ibadah. Salat adalah media komunikasi transendental antara manusia dengan Allah. Dalam setiap takbir, tasbih, dan tasyahud terkandung pesan mendalam yang membentuk akidah, moralitas, dan hubungan sosial. Bacaan seperti Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin mengajarkan rasa syukur kepada Tuhan semesta alam, sementara Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in menegaskan tauhid dan ketergantungan mutlak kepada-Nya. Namun, bagaimana mungkin pesan ini mengakar dalam jiwa jika maknanya tidak dipahami?
Di era digital ini, dalih keterbatasan sumber daya atau akses pengetahuan tidak lagi relevan. Ribuan aplikasi, kursus daring, dan video interaktif telah tersedia untuk membantu umat mempelajari bahasa Al-Qur’an dan memahami bacaan salat. Bahkan, teknologi kecerdasan buatan kini memungkinkan kita untuk belajar secara personal dengan bimbingan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Akan tetapi, kemudahan ini tidak akan berarti tanpa adanya niat yang kuat. Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).
Fenomena ini juga menuntut peran para ulama, pendidik, dan pemimpin komunitas untuk mereformasi pendekatan dakwah dan pendidikan Islam. Sistem pendidikan harus menekankan pentingnya memahami makna ibadah, bukan sekadar mengejar jumlah hafalan atau kelulusan seremonial. Seperti yang diingatkan oleh Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, “Ilmu tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah, dan amal tanpa pemahaman adalah seperti bangunan tanpa fondasi.”
Tidak memahami bacaan salat bukan hanya masalah individu, tetapi juga tantangan kolektif umat Islam. Ini adalah bentuk kekosongan spiritual yang dapat melemahkan kekuatan moral umat di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Tanpa pemahaman yang mendalam, salat kehilangan daya transformasinya, baik untuk individu maupun masyarakat. Padahal, salat adalah tiang agama, pondasi yang menopang seluruh aspek kehidupan seorang Muslim.
Sebagai Muslim, kita harus merenungkan, apakah kita telah benar-benar memanfaatkan sholat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah? Apakah kita telah berusaha memahami pesan-pesan yang Allah sampaikan dalam Al-Qur’an dan salat? Allah telah memberikan garansi bahwa Al-Qur’an itu mudah dipahami, namun garansi ini hanya berlaku bagi mereka yang mau berusaha. Jangan sampai kita termasuk dalam golongan yang disebut dalam firman-Nya, “Dan mereka berkata, ‘Kami mendengar, tetapi kami tidak mau mematuhi.’” (QS. An-Nisa: 46).
Ini adalah momen untuk bangkit, untuk melampaui rutinitas ibadah menuju pemahaman yang lebih mendalam. Jangan biarkan salat kita hanya menjadi gerakan kosong yang tidak membekas pada hati dan perilaku. Dengan memahami makna bacaan salat, kita tidak hanya memperbaiki hubungan dengan Allah, tetapi juga membangun kesadaran spiritual yang lebih kokoh untuk menghadapi tantangan hidup. Salat yang dipahami adalah kunci transformasi, dari sekadar ritual menjadi inspirasi, dari kewajiban menjadi cinta. Mari jadikan setiap salat sebagai dialog yang penuh makna dengan Sang Pencipta, bukan sekadar rutinitas yang berlalu tanpa bekas.
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News