Pancasila, Muhammadiyah, dan Sukarno
Presiden Sukarno saat berada di Blitar tahun 1952 foto: ANRI.go.id
UM Surabaya

Hari Lahir Pancasila 1 Juni merupakan kesempatan yang baik untuk melihat kembali Pancasila yang digagas Soekarno menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Perayaan Hari Lahir Pancasila merujuk pada awal mula gagasan tentang dasar negara disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945.

Gagasan tersebut lalu didiskusikan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI).

Kemudian disepakati menjadi dasar Negara yang diintegrasikan dalam Pembukaan Undang-Undangan Dasar 1945, dengan lima sila sebagaimana yang kita kenal hari ini dengan Pancasila.

Interaksi Soekarno dengan para anggota BPUPKI selama 3 hari sejak 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 merupakan bagian kontemplasi dialogis untuk menyerap berbagai aspirasi sosio-antropologis bangsa yang diwakili oleh anggota BPUPKI.

Salah satu interaksi yang paling populer adalah ketika Bung Karno menyampaikan gagasan kebangsaan kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1942-1945, Ki Bagoes Hadikoesomo.

Dengan gagasan kebangsaan tersebut, kedua tokoh Bung Karno dan Ki Bagoes Hadikoesomo sepakat Indonesia didirikan. Di atas satu kebangsaan Indonesia, kita dasarkan negara Indonesia.

Gagasan yang kemudian tersusun dalam urutan Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan, adalah nilai-nilai dasar yang diyakini sebagai fondasi terkuat dari sebuah negara.

Karena itu, Pancasila dengan 5 gagasan utamanya akan terus dan tetap menjadi dasar negara dan disepakati tidak akan terganti oleh ideologi apapun.

Negara Konsensus dan Kesaksian

Muhammadiyah, sebagai organisasi keagamaan Islam yang merupakan bagian dari pembentuk negara dan dasar negara, secara etik politik terus menerus menegaskan posisi ideologisnya bahwa Negara Pancasila bagi Muhammadiyah adalah Dar al Ahdi wa al-Syahadah atau negara konsensus dan kesaksian.

Doktrin Dar al Ahdi wa-al-Syahadah adalah bagian dari Risalah Islam Berkemajuan yang merupakan pedoman anggota persyarikatan Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.

Peneguhan sikap Muhammadiyah, juga merupakan bagian dari perlawanan atas upaya-upaya kelompok tertentu yang berupaya mengganti ideologi Pancasila.

Sebagai elemen bangsa, Muhammadiyah terus menerus menyimak dan mendalami berbagai dinamika nasional yang dalam batas-batas tertentu memunculkan keraguan dan pertanyaan.

Bagaimana Pancasila menjadi ideologi yang mempersatukan, ideologi yang memandu kehidupan spiritual pemancar kebijakan?

Atau bagaimana Pancasila menjadi dasar pengambilan keputusan yang bajik dan untuk kepentingan republik dan bagaimana pula Pancasila menjadi alat advokasi mencapai keadilan dan kesejahteraan untuk semua?

Pertanyaan-pertanyaan ini terus muncul berulang setiap Pancasila diperingati pada 1 Juni, juga selalu muncul pada saat Pancasila dilafalkan dan didiskusikan.

Coba lihat temuan riset Setara Institute (2023) yang menggambarkan bahwa secara diskursif 83,3 persen Pancasila dianggap sebagai bukan ideologi permanen.

Hasil riset tersebut merupakan kritik bagi semua pihak di mana Pancasila belum menunjukkan kinerja konkret bagi kehidupan bangsa.

Sekalipun bukan kehendak mengganti Pancasila, tetapi opini mayoritas bahwa Pancasila bukan ideologi permanen adalah ancaman yang sangat serius bagi bangsa

Bukan Alat Mengikis Kemajemukan

Semua elemen bangsa harus memastikan Pancasila menjadi ideologi yang bekerja khususnya menjadi pedoman penyelenggaraan negara.

Termasuk di bidang kepemimpinan nasional, penyelenggaraan fungsi legislasi, penyelenggaraan fungsi yudikatif dalam memutus berbagai perkara, maupun dalam tata laku para penyelenggaraan negara.

Pancasila jelas bukan alat penyeragaman yang mengikis kemajemukan, bukan juga instrumen penundukkan bagi mereka yang tidak sejalan dengan aspirasi negara.

Bukan pula instrumen suatu rezim dalam bentuk rejimentasi yang gagap menjawab urusan republik.

Muhammadiyah akan terus menjadi bagian solusi dan kontribusi memastikan ideologi negara bekerja.

Hal ini dilakukan Muhammadiyah melalui berbagai pranata sosial keagamaan, majelis-majelis organisasi yang dimiliki, sekolah, universitas dan rumah sakit sektor sektor-sektor lain yang ditangani Muhammadiyah.

Muhammadiyah akan memastikan ideologi negara bekerja, dirasakan warga, sekaligus menjadi alat pemberdaya dan pembela warga negara untuk mencapai tujuan nasional.

Yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. (*)

*) Fajar Riza Ul Haq, Ketua Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis PP Muhammadiyah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini