Indonesia, meskipun dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, masih menghadapi persoalan serius berupa tingginya angka pengangguran dan kemiskinan.
Menurut Dr. Abu Nasir, M.Ag., Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Pasuruan, sekitar 25 persen masyarakat Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan dan membutuhkan perhatian serta uluran tangan dari pemerintah maupun berbagai pihak lainnya.
“Pemerintah dan pihak lain perlu bekerja sama untuk membantu masyarakat yang masih hidup di garis kemiskinan,” ungkapnya saat berbicara di hadapan wali santri Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah (SPEAM) Kota Pasuruan, pada Sabtu (21/12/2024).
Salah satu penyebab tingginya angka pengangguran di Indonesia, lanjut Dr. Abu Nasir yang meraih gelar doktor dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), adalah rendahnya karakter dan minat masyarakat terhadap dunia entrepreneurship atau kewirausahaan.
“Indonesia menempati peringkat ke-96 secara global dalam hal minat masyarakat terhadap entrepreneurship,” jelasnya.
Ia juga menyoroti peran lembaga pendidikan yang, menurutnya, mayoritas belum memberikan perhatian serius pada penanaman karakter kewirausahaan kepada peserta didik.
“Baru sekitar 17 persen lembaga pendidikan di Indonesia yang memiliki program atau strategi untuk menanamkan karakter entrepreneur pada siswa-siswinya,” tambahnya.
Abu Nasir, yang dalam disertasinya meneliti tentang SPEAM, menegaskan pentingnya lembaga pendidikan untuk membangun karakter entrepreneur pada peserta didik.
Menurutnya, langkah ini tidak sulit dilakukan asalkan ada kemauan dan komitmen dari para pengelola sekolah.
“Pesantren atau sekolah cukup mendirikan bengkel entrepreneur dan merancang aktivitas kewirausahaan yang konkret,” paparnya.
SPEAM, tambahnya, telah menjadi contoh nyata dalam hal ini. Pesantren tersebut telah merancang dan melaksanakan berbagai program kewirausahaan, seperti pembuatan batik ecoprint, jurnalistik, foodpreneur, hingga pengolahan sampah menjadi kompos.
Selain itu, SPEAM secara aktif melibatkan para santri dalam kegiatan bazar dan penjualan produk di berbagai acara yang diselenggarakan oleh persyarikatan maupun pihak eksternal.
Para santri tidak hanya menghasilkan olahan makanan dan produk kreatif lainnya, tetapi juga dilatih untuk memasarkan hasil karya mereka kepada masyarakat luas.
“Melalui berbagai kegiatan tersebut, mental entrepreneur para santri dibentuk dan dikembangkan,” tuturnya.
Namun, SPEAM tidak hanya fokus pada kewirausahaan. Para santri juga dibekali dengan ilmu agama, kemampuan menghafal Al-Qur’an (tahfidz), serta penguasaan bahasa asing.
Semua kegiatan ini berjalan dengan baik di bawah pengawasan para pengasuh, musyrif, dan musyrifah. (dadang prabowo)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News