*) Oleh: Abdur Rauf,
Anggota MPK-SDI PDM Kota Yogyakarta Periode 2022-2027
Dalam era informasi yang terus berkembang, warga Muhammadiyah dituntut untuk bersikap selektif dan kritis terhadap kajian-kajian keagamaan yang diikuti.
Tidak semua kajian membawa pencerahan atau perbaikan kualitas diri maupun kualitas hidup.
Sebaliknya, ada pula yang justru merugikan umat dengan menjadikannya sebagai komoditas demi kepentingan pribadi sang da’i atau penyelenggara kajian.
Sikap kritis ini penting untuk menjaga umat agar tidak terjebak pada ajaran yang doktriner-normatif yang berpotensi membelenggu pemikiran.
Jika tidak berhati-hati, umat justru dapat terjebak dalam kejumudan dan kemandekan berpikir, bahkan menjadi alat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Alih-alih tercerahkan, umat malah semakin kaku dan tertutup dalam beragama.
Oleh karena itu, penting bagi warga Muhammadiyah untuk selektif dalam memilih kajian dan kritis dalam menyerap materi yang disampaikan.
Tidak hanya itu, para muballigh/ah Muhammadiyah juga perlu memperbarui metode dan materi dakwahnya agar lebih segar, relevan, dan berorientasi pada kemajuan.
Standar Ideal Mubaligh Muhammadiyah
Muhammadiyah sebenarnya telah merumuskan standar ideal untuk para mubaligh/ah, namun implementasinya memerlukan perhatian lebih. Beberapa kompetensi yang harus dimiliki antara lain:
1. Wawasan Luas
Mubaligh/ah Muhammadiyah harus memiliki pemahaman agama yang mendalam dan terbuka terhadap berbagai disiplin ilmu. Hal ini menghindarkan mereka dari sikap sempit, kaku, dan monopoli kebenaran yang dapat menghambat dialog antarumat.
2. Budi Pekerti Luhur
Selain pemahaman agama, akhlak mulia sangat penting. Mubaligh/ah harus menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam maupun di luar mimbar dakwah.
3. Empati dan Simpati
Dakwah yang baik adalah dakwah yang menyentuh hati. Kepekaan terhadap kondisi jamaah membuat seorang mubaligh/ah mampu menyampaikan pesan yang relevan tanpa menghakimi, apalagi mem-bully.
4. Sikap Tawadhu
Rendah hati adalah kunci seorang mubaligh/ah dalam menjaga integritas dan kredibilitas. Hindari sikap arogan atau “star syndrome” yang hanya akan merusak esensi dakwah itu sendiri.