Kebenaran Bukan Ditentukan Banyaknya Pengikut
foto: youthincmag.com
UM Surabaya

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

“Aku melihat seorang nabi yang hanya memiliki beberapa pengikut (3 sampai 9 orang). Ada juga nabi hanya memiliki satu atau dua orang pengikut saja. Bahkan ada nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali.” (HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 220).

Ada Nabi yang pengikutnya banyak, ada nabi yang pengikutnya sedikit. Ini menunjukkan bahwa tidak selamanya jumlah pengikut yang banyak menunjukkan atas kebenaran.

Yang jadi patokan kebenaran bukanlah jumlah, namun dilihat dari pedoman mengikuti Alquran dan hadis, siapa pun dia dan di mana pun dia berada.

قاَلَ الشَّافِعِيُّ : «كُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ فَهُوَ هَذَيَانٌ» (أخرجه البيهقي في «مناقب الإمام الشافعي

Imam Syafi’i berkata: “Setiap orang yang berbicara berdasarkanAlquran dan sunah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada Alquran dan sunah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan.” (Lihat: “Manâqib Asy Syâfi’i”: 470)
.
قَالَ الْمُزَنِيْ وَالرَّبِيْعُ كُنَّا يَوْماً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ إِذْ جَاءَ شَيْخٌ فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ قاَلَ الشَّافِعِيُّ سَلْ قاَلَ إِيْشٌ الْحُجَّةُ فِيْ دِيْنِ اللهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ كِتَابُ اللهِ، قاَلَ وَمَاذَا قاَلَ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ…”

Al Muzany dan ar-Rabî’ berkata: “Pada suatu hari saat kami berada di samping Imam Syâfi’i, tiba-tiba datang seorang orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syâfi’i: “Aku ingin bertanya.”

Jawab Imam Syâfi’i: “Silakan.” Lalu ia berkata: “Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla ?”

Maka Imam Syâfi’i menjawab: “Kitab Allah Azza wa Jalla (Alquran).” Ia bertanya lagi: “Kemudian apa?” Jawab Syâfi’i: “Sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (Lihat: “Ahkâmul Qur’ân”: 39.)

Di sini terlihat bahwa Imam Syâfi’i sangat mengagungkan Alquran dalam berdalil. Menurut Imam Syâfi’i, mestinya setiap orang menjadikan Alquran sebagai pedoman saat menentukan sebuah hukum atau berpendapat.

Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya berhak untuk diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah kebingungan. Orang tersebut adalah si bingung yang membuat kebingungan di tengah masyarakat.

Betapa banyaknya orang zaman sekarang yang membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya. Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang terlintas di benaknya, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.

Bahkan menurut Imam Syâfi’i pendapat dan pemahaman yang tidak berdasarkan kapada dalil Alquran dan hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bisikan-bisikan setan.

Betapa banyak di zaman sekarang orang yang mengikuti bisikan-bisikan setan. Semoga Allah Azza wa Jalla melindungi kaum Muslimin dari fitnah mereka.

قَالَ الْمُزَنِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ “مَنْ تَعَلَّم َاْلقُرآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ”

“Berkata al-Muzany: aku mendengar Syâfi’i berkata: “Barang siapa yang mempelajari Alquran telah tinggi kedudukannya.” (Lihat: “Al-Muntazhim”: 10/137 & “Shafwatush shafwah”: 2/254.)

Demikianlah, Imam Syâfi’i rahimahullah sangat menghargai orang-orang yang mempelajari Alquran, sebagai motivasi bagi mereka agar bersungguh-sungguh untuk mempelajari Alquran.

Sekaligus menegaskan kepada kita untuk menghormati orang yang mempelajari dan mengamalkan hukum-hukum Alquran.

Oleh sebab itu, Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat orang yang mempelajari Alquran dan merendahkan derajat orang yang tidak mau mempelajari dan mengamalkan Alquran.

Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا اْلكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

Sesungguhnya Allah meninggikan dengan kitab ini (Alquran) kedudukan beberapa kaum dan merendahkan dengannya kedudukan yang lain. [HR. Muslim]

Allah Azza wa Jalla mengangkat derajat orang mau menerima ajaran Alquran  dan berjuang menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.

Sebaliknya, Allah hinakan dan rendahkan derajat orang yang menentang ajaran Alquran atau merendahkan orang-orang mengamalkannya dan berjuang untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.

Nabi saw juga menjelaskan bahwa orang yang berpegang pada kebenaran di akhir zaman ini akan terasing.

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.” (HR. Muslim no. 145, dari Abu Hurairah).

Patokan kebenaran bukanlah dilihat dari banyaknya pengikut. Patokannya adalah tetap melihat apakah bersesuaian dengan kebenaran.

Kalau memang standar banyak yang dijadi patokan kebenaran, itu baik. Namun mayoritas yang banyak itu merujuk pada kebatilan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya.”(QS. Yusuf: 103).

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116). (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini