*)Oleh: Abdul Ghofir, S.Ag
Kepala KUA Bangilan Kabupaten Tuban
Predikat haji mabrur adalah orientasi spiritual terbesar bagi seluruh jamaah yang menunaikan ibadah haji. Tak ada satu pun di antara mereka yang tidak menginginkan predikat tersebut.
Dan secara teologis, bagi haji mabrur dijanjikan Allah pahala yang besar sebagaimana tersebut dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhori:
الحج المبرور ليس له الجزاء الا الجنة
“Tidak ada balasan bagi Haji mabrur kecuali surga.”
Maka demi mendapatkan predikat tersebut mereka semua berupaya sebaik mungkin dalam menjalankan manasik haji.
Bahkan sebelum berangkat ke tanah suci para jamaah dibekali Ilmu manasik dan Fikih Haji dan Umroh dengan cara belajar dan mengikuti bimbingan manasik haji untuk memahami syarat dan rukunnya haji.
Namun, apakah kemabruran haji ini hanya sebatas kepuasan spiritual? Di mana standardisasinya adalah pelaksanaan manasik haji dan umrah yang sempurna seacara fikih?
Dalam pandangan Prof. Dr. Nurcholis Madjid (Cak Nur), pemikir muslim Indonesia, dengan pendekatan semantik beliau menjelaskan bahwa kata “mabrur” itu berasal dari bahasa Arab yaitu “mabrurun” yang artinya adalah mendapatkan kebaikan atau menjadi baik, dari akar kata “barra” yang artinya adalah berbuat baik atau patuh.
Menurut Cak Nur, kata al-birru dalam kaitannya dengan terima haji mabrur, merupakan konsep ajaran Islam yang berkaitan erat dengan sikap sosial kemanusiaan (Nurcholish Madjid, 2019 : 4307).
Dalam persoalan ini, Yusuf A. Hasan juga menjelaskan lebih detail bahwa seseorang yang mendapatkan predikat al-birru (al-mabrur) dapat diidentifikasi dengan beberapa sikap sosial kemanusiaannya yang dimilikinya, antara lain, senantiasa benar, taat, menepati janji, dan jujur.
Oleh karena itu, hakikat seseorang yang mendapat predikat mabrur adalah orang memiliki sikap kebaikan sosial yang luas terhadap sesama makhluk.
Becermin dari penjelasan di atas, maka dalam menjalankan kehidupan sosial seorang yang telah melaksanakan haji dan mendapatkan predikat haji mabrur akan tecermin dalam hidupnya adanya perubahan kebaikan dalam berbagai aspek.
Maka setidaknya orang yang mendapatkan predikat haji mabrur akan memiliki beberapa peningkatan dan memiliki dampak positif terhadap kehidupan sosial seseorang di antaranya adalah:
1. Kesadaran Keagamaan yang Lebih Tinggi
Melalui pengalaman haji yang mendalam, seseorang dapat memperkuat dan memperdalam keyakinan dan kesadaran keagamaannya.
2. Peningkatan Kesabaran dan Ketahanan
Haji melibatkan perjalanan yang melelahkan dan penuh tantangan, seperti berdesak-desakan, panasnya cuaca, dan berbagi ruang dengan jutaan orang.
Selama perjalanan ini, individu belajar untuk bersabar, mengendalikan emosi, dan menghadapi kesulitan dengan lapang dada.
3. Peningkatan Empati dan Persaudaraan
Haji merupakan pertemuan jutaan muslim dari berbagai negara dan budaya yang berbeda. Hal ini dapat membantu dalam mengembangkan empati.
Individu yang telah melaksanakan haji mabrur dapat memahami dan menghargai perbedaan, serta berkontribusi pada perdamaian dan harmoni sosial di antara sesama umat Muslim.
4. Penyadaran akan Masalah Sosial
Selama haji, individu juga dapat melihat secara langsung kondisi sosial yang mungkin berbeda dari negara asal mereka. Mereka dapat melihat kemiskinan, ketidakadilan, atau kesenjangan sosial
5. Penyebaran Nilai-Nilai Kebaikan
Setelah melaksanakan haji mabrur, individu sering merasa terinspirasi untuk melakukan perubahan positif dalam kehidupan mereka dan berbagi nilai-nilai agama dengan orang lain.
Mereka dapat mengambil peran aktif dalam masyarakat, menyumbangkan dana untuk amal,
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis teringat ada sebuah cerita yang disampaikan oleh Abdullah bin Almubarrok setelah melaksanakan ibadah haji, di mana beliau tertidur dan bermimpi, dalam mimpinya beliau melihat dua malaikat yang sedang bercakap cakap.
Abdullah bin Almubarrok mendengarkan percakapan malaikat itu. Menurut malaikat tersebut, semua jamaah haji yang berangkat tahun ini tidak ada yang diterima oleh Allah, namun atas kehendak Allah, karena amal kebaikan seseorang yang kebetulan tidak berangkat haji, semua amalan jamaah haji ini diterima ibadah hajinya oleh Allah.
Orang tersebut adalah Ali Almuwaffak yang tinggal di Damaskus yang bekerja sebagai seorang sol sepatu.
Setelah terbangun dari tidurnya Abdullah bin Almubarrok ini langsung berangkat ke Damaskus mencari Ali Almuwaffak untuk memastikan, amalan dahsyat apa yang telah dilakukan olehnya sehingga Allah berkehendak demikian.
Singkat cerita bertemulah dia dengan Ali Almuwaffak seorang sol sepatu tersebut. Abdullah bin Almubaarok pun segera bertanya amalan apa gerangan yang mengubah murka Allah menjadi berkah.
Ali Almuwaffak akhirnya bercerita, bahwa dirinya tahun ini sebenarnya akan menunaikan ibadah haji dari uang yang ditabungnya selama ini sebesar 350 dirham. Akan tetapi, takdir berkata lain.
“Saya tidak jadi berangkat karena uang itu habis saya berikan kepada janda dengan enam anak,” katanya.
Tanpa disengaja istrinya yang sedang hamil itu menyuruhnya untuk meminta dan mendatangi aroma masakan yang sangat sedap, ternyata yang sedang masak adalah janda dengan enam orang anak tinggal di rumah yang hampir roboh.
Saat ia meminta sedikit masakannya, ternyata janda tersebut menolak untuk berbagi kepadanya, bahkan dibeli pun tidak boleh.
Ketika Ali Almuwaffak ini dalam keheranan janda tersebut berkata: “ Tuan, masakan ini halal untuk saya tapi tidak halal untuk tuan.”
Ali Almuwaffak pun menjawab, “Kok bisa begitu, bukankan kita sama sama muslim.”
“Iya Tuan, karena daging yang saya masak ini adalah bangkai keledai, saya dan keenam anak saya beberapa hari ini belum makan,” jawab janda tersebut.
Mendengar jawaban tersebut Ali Almuwaafak menangis dan bergegas pulang untuk mengambil makanan dan memberikan uang 350 dirham kepada janda tersebut untuk modal usaha.
Itulah amalan indah dan mulia yang mengubah murka Allah menjadi berkah.
Kesimpulannya, haji mabrur dan kepedulian sosial adalah dua aspek yang saling terkait dalam agama Islam.
Haji mabrur adalah haji yang dilakukan dengan kesungguhan hati dan sesuai dengan tuntunan agama.
Sedangkan kepedulian sosial melibatkan sikap empati, kebaikan, dan bantuan kepada sesama manusia. Dalam konteks haji, kepedulian sosial dapat diwujudkan melalui tindakan nyata dalam membantu orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Wallahu a’lam bishowab. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News