Keistimewaan Muhasabah yang tidak Dimiliki Amalan Lainnya
Ilustrasi foto: stock.adobe
UM Surabaya

Muhasabah merupakan ibadah yang agung dan memberikan dampak yang besar dalam kehidupan seseorang. Akan tetapi, banyak orang yang meninggalkannya.

Muhasabah berasal dari kata hasaba yuhasibu muhasabatan yang berarti “menghitung”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), muhasabah diartikan sebagai “introspeksi diri”.

Muhasabah merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah.  Hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok.

Bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan agar kita senantiasa bermuhasabah.

“Orang cerdas adalah orang yang  menundukkan jiwanya dan beramal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi)

Para ulama telah sepakat mengenai  wajibnya muhasabah  diri terhadap amal yang telah lalu dan amal apa yang akan dilakukan nantinya. (Lihat A’malul Qulub, hal. 363-364)

Perlu kita ketahui bahwa muhasabah mempunyai keistimewaan (keutamaan) yang tidak dimiliki oleh amalan-amalan lainnya.

Muhasabah: Ibadahnya orang-orang pilihan. Hanya orang yang diberikan hidayah yang bisa melakukan amal muhasabah ini.

Mayoritas amal ibadah bisa jadi ada motivasi unsur duniawi, seperti doa, ikhtiar dan tawakal, karena ingin dicukupkan rezekinya; atau sedekah dan salat karena ada niatan agar terlihat dermawan dan saleh.

Sedangkan amal muhasabah ini sangat kecil kemungkinan ada unsur duniawinya karena hanya dia dan Allah-lah yang mengetahui kondisi hati.

Allah Ta’ala berfirman:

“Bahkan, manusia itu menjadi saksi (mengerti) atas dirinya sendiri.” (QS. Al-Qiyamah: 14)

Muhasabah: Dilakukan saat orang lain sedang lalai. Kebanyakan orang melakukan muhasabah ketika malam hari dalam kondisi yang sepi. Dan malam hari banyak digunakan manusia untuk tidur dan lalai melakukan ketaatan.

Padahal, ibadah yang dilakukan saat mayoritas orang sedang lalai memiliki keutamaan yang besar.

Hal ini sebagaimana Nabi saw suka memperbanyak puasa di bulan Sya’ban di mana banyak orang lalai berpuasa saat itu.

Suatu ketika, saw ditanya oleh Usamah bin Zaid. “Dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “Aku bertanya pada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, aku tak melihat engkau berpuasa dalam sebulan sebagaimana engkau lakukan di bulan Sya’ban.

Rasulullah menjawab, ‘Bulan itu (Sya’ban) adalah bulan yang banyak orang lalai darinya, karena berada di antara bulan Rajab dan Ramadan.

Pada bulan Sya’ban, amalan diangkat kepada hadirat Allah, maka aku ingin amalanku diangkat selagi aku sedang berpuasa.’” (HR. Abu Dawud dan An Nasa’i, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Bahkan, salat sunah yang paling utama adalah salat yang dilakukan pada malam hari karena banyak manusia lalai dari beribadah dan sedang terlelap tidur.

Nabi saw bersabda: “Salat yang paling utama setelah salat wajib adalah salat malam.” (HR. Muslim)

Kita hidup berjalan terus menuju kematian, tak pernah berhenti, bahkan tak akan bisa mundur kembali.

Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (kelak pada hari kiamat).”

Seseorang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya di dunia, maka ia akan tahu amal buruk mana yang harus ditinggalkan dan amal kebaikan apa yang harus dipertahankan, sehingga akan mempermudah hisab (timbangan) di Hari Kiamat nanti. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini