Dosa Ghibah Itu Bertingkat, Begini Penjelasannya
Ilustrasi: linkedin.
UM Surabaya

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ketahuilah, ghibah itu akan bertambah kejelekannya dan dosanya sesuai dengan siapa yang disakiti dengan ghibah tersebut.

Ghibah terhadap orang biasa tidak seperti ghibah terhadap orang yang berilmu. Tidak pula seperti ghibah terhadap pemimpin negara, pejabat, menteri, dan sejenisnya.

Sebab, ghibah terhadap pejabat, baik pejabat rendah maupun pejabat tinggi, lebih besar dosanya daripada ghibah terhadap orang yang tidak memiliki jabatan atau kedudukan.”

Apabila mengghibahi orang biasa, engkau hanyalah berbuat jelek terhadap pribadinya. Namun, apabila engkau ghibah terhadap orang yang memiliki jabatan atau kedudukan, sungguh engkau telah berbuat jelek terhadap pribadi dan kedudukannya yang terkait dengan kepentingan kaum muslimin.

Contohnya, apabila engkau berbuat ghibah terhadap salah seorang ulama, perbuatan ini berarti permusuhan dan kebencian terhadap pribadinya. Engkau juga telah berbuat kejelekan atau kejahatan yang besar terhadap ilmu syariat yang dibawanya.

Orang yang berilmu adalah pengemban syariat. Apabila engkau menggunjingnya, akan jatuh kewibawaannya dalam pandangan umat.

Apabila telah jatuh wibawanya, umat tidak akan mendengarkan ucapannya dan tidak mau merujuk kepadanya dalam urusan agama mereka.

Akibatnya, ilmu yang dimiliki oleh orang alim tersebut diragukan kebenarannya karena engkau menggunjingnya. Ini adalah kejahatan yang besar terhadap syariat.

Demikian juga para pemimpin/pejabat. Apabila engkau melakukan ghibah terhadap seorang pejabat, raja, presiden, atau yang semisalnya, dampak jeleknya tidak hanya menimpa pribadinya.

Bahkan, ghibah itu akan menjatuhkan pribadinya sekaligus merusak kewibawaan dan kedudukannya. Ini berarti engkau telah menyusupkan kebencian dan kedengkian ke dalam hati rakyat terhadap penguasanya.

Apabila engkau berhasil menanamkan kebencian dan kedengkian dalam hati mereka terhadap penguasanya, sungguh engkau telah melakukan kejahatan yang besar terhadap mereka.

Hal ini juga merupakan sebab munculnya berbagai kekacauan, perselisihan, dan perpecahan dalam kehidupan (masyarakat). Apabila hari ini ghibah berhasil menyebarkan berbagai ucapan, boleh jadi besok hari akan menyebarkan tembakan-tembakan.

Sebab, apabila hati telah benci dan dengki terhadap penguasa, dia tidak akan mau tunduk dan patuh terhadap perintahnya. Apabila dia diperintahkan untuk melakukan suatu kebaikan, dia akan melihat sebaliknya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/46-47)

Tobat dari Ghibah

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, al-Wabil ash-Shayyib (hlm. 131), menyebutkan sebuah hadis dari Nabi saw bahwa kafarat ghibah (penghapus dosanya) adalah memohon ampunan kepada Allah SWTbagi orang yang digunjing dengan mengucapkan, “Ya Allah, ampunilah kami dan dia.”

Al-Baihaqi rahimahullah menyebutkan hadis tersebut dalam ad-Da’watul Kabir. Beliau mengatakan bahwa dalam sanadnya ada kelemahan.

Dalam masalah ini, ada dua pendapat di kalangan ulama, yang keduanya adalah riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah: Apakah cukup bertobat dari ghibah dengan memohon ampunan bagi orang yang dighibahi? Ataukah harus disertai pemberitahuan kepada orang itu dan meminta untuk dimaafkan?

Pendapat yang benar, tobat dari ghibah tidak membutuhkan pemberitahuan kepada orang yang dighibahi.

Cukup dengan memohon ampunan baginya dan menyebut kebaikan- kebaikannya di tempat-tempat yang dahulu dia mengghibahinya.

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya.

Ada pun sebagian ulama yang mengharuskan pemberitahuan kepada orang yang dighibahi sebagai bentuk tobatnya, mereka menganggap ghibah seperti hak- hak harta yang dizalimi. Sementara itu, ghibah dan hak harta jelas jelas perbedaannya.

Dalam hak-hak yang terkait dengan harta, ketika dikembalikan hartanya atau yang setara dengannya, orang yang dizalimi akan mendapatkan manfaat darinya. Dia bisa mengambilnya atau menyedekahkannya.

Hal ini tidak mungkin terjadi pada ghibah. Yang akan terjadi pada orang yang dighibahi ketika dia diberitahu tentangnya, justru berlawanan dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah saw.

Hal tersebut justru akan menyakiti dan menyalakan kemarahannya. Boleh jadi, dia akan muncul permusuhan yang tidak bisa dipadamkan.

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya hal yang seperti ini tentu tidak akan diperbolehkan oleh Rasulullah saw, apalagi diperintahkan dan diwajibkan oleh beliau.

Namimah (Adu Domba) adalah menukil ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan atau persaudaraan di antara keduanya.

Allah dan Rasulullah sungguh mencela orang yang berbuat namimah dan melarang kita mendengarkan ucapannya.

Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (al-Qalam: 10, 12)

Rasulullah bersabda: “Tidak akan masuk surga, orang yang qattat (yakni ahli namimah).”
(HR. al-Bukhari dari Hudzaifah RA)

Dalam sebuah riwayat dalam sahih Muslim, Tidak akan masuk surga, ahli namimah.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah SWT berfirman Maknanya adalah orang yang berjalan di antara manusia untuk mengadu domba mereka, dengan cara menukil ucapan untuk merusak hubungan dan persaudaraan di antara mereka. Ini adalah perbuatan yang membinasakan.

Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Dalil-dalil yang mengandung ancaman bahwa seorang muslim tidak akan masuk surga apabila melakukan dosa besar (seperti hadis ini) dipahami bahwa di dalamnya ada sesuatu yang mahdzuf (dibuang).

Maksudnya, apabila Allah ingin membalasnya, atau maknanya dia tidak akan masuk surga secara langsung, tetapi akan diazab sesuai dengan kadar dosanya (apabila Allah berkehendak) meski akhirnya dia masuk surga.

Adapun apabila dia menghalalkannya, dia telah kafir karena telah mendustakan nas-nas (Alquran dan sunah), baik dia melakukan perbuatan itu maupun tidak.” (Nashihati lin Nisa’, hlm. 39)

Namimah adalah dosa besar yang menyebabkan pelakunya diazab dalam kuburnya, apabila Allah SWT tidak mengampuninya.

Hal ini disebutkan dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma yang masyhur. Di samping itu, namimah adalah perbuatan yang sangat tercela lagi berbahaya, yang akan merusak persahabatan dan persaudaraan.

Bahkan, namimah bisa merusak kecintaan antara suami dan istri, bapak dan anak, atau seseorang dan saudaranya, serta bisa merusak persaudaraan di antara kaum muslimin. Lebih dari itu, peperangan bisa terjadi karena namimah.

Oleh karena itulah, Allah SWT dan Rasulullah saw mengancam pelakunya tidak akan masuk surga.

Sebagian ulama, seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, menggolongkan namimah ke dalam jenis sihir.

Sebab, namimah bisa merusak persaudaraan dan kecintaan antara dua pihak, sebagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh sihir.

Bahkan, sebagian ulama yang lain mengatakan, sungguh, orang yang melakukan namimah bisa membuat kerusakan dalam sekejap, sementara tukang sihir merusak dalam waktu satu bulan.

Ummu Abdillah berkata, Ketahuilah, orang yang melakukan namimah untuk kepentinganmu, dia akan melakukan namimah untuk membinasakanmu juga.

Oleh karena itu, nasihatilah orang yang berbuat namimah dengan lemah lembut dan pengarahan yang baik berulang kali.

Apabila dia tidak mau meninggalkannya, peringatkanlah saudara-saudaramu darinya. Jauhilah dia, karena Allah SWT berfirman:

“Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, tinggalkanlah mereka hingga mereka mengalihkan pada pembicaraan yang lain.

Jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68). (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini