Melawan Ritualisme Kosong
foto: antara
UM Surabaya

Suatu hal yang tragis, ketika rakyat digerakkan untuk merayakan kemerdekaan dengan menyelenggarakan kegiatan yang seolah-olah meriah.

Di awal bulan Agustus, masyarakat didorong untuk mengibarkan bendera merah-putih, dengan alasan menyambut hari raya kemerdekaan di pertengahan bulan.

Atas anjuran itu, rakyat pun ikut menyambut dengan berbagai acara, seperti lomba hingga panggung gembira.

Tidak sedikit dana yang dikeluarkan guna merayakan hari bebaskan negara dari tangan penjajah.

Padahal penjajahan politik dan ekonomi masih terus berlangsung. Penjajahan dilakukan oleh negara lain melalui sebagian elite penguasa lokal yang memperoleh keuntungan sedikit guna memfasilitasi orang asing untuk mengeruk kekayaan bangsanya.

Ritual Kemerdekaan

Setiap tahun, tepatnya tanggal 17 Agustus, warga negara Indonesia merayakan hari kemerdekaan.

Mereka merayakan dengan penuh semangat dan antusiasme yang tinggi. Bendera merah-putih berkibar di segala penjuru negeri, dan berbagai acara perayaan diadakan untuk mengenang perjuangan para pahlawan yang telah merebut kemerdekaan dari cengkeraman penjajah asing.

Namun, dalam keceriaan dan semarak perayaan tersebut, sering kali terabaikan fakta yang cukup memprihatinkan di mana kita masih terjajah oleh kepentingan asing dan aseng yang merampas sumber daya alam.

Ritual-ritual tahunan ini dilakukan setiap tahun dalam perayaan kemerdekaan sering kali menjadi semacam pengalihan perhatian dari realitas pahit yang tengah kita alami.

Di atas panggung, warga menari, bernyanyi, dan meluncurkan kembang api. Padahal keadaan bangsa ini tidak benar-benar merdeka karena sumber daya alam kita dieksploitasi begitu bebas oleh kekuatan asing tanpa kontrol.

Di balik kegembiraan dan sorak sorai, masyarakat tak sadar bahwa dirinya dalam suasana keterjajahan.

Bahkan mungkin dengan bentuk yang lebih halus. Melalui praktik eksploitasi sumber daya alam yang masif dan korupsi yang merajalela, negara kita dijarah tanpa ambang batas.

Perusahaan asing dengan kerjasama dari oknum elite dalam negeri mengambil keuntungan besar dari tanah, hutan, dan kekayaan alam lainnya, seringkali tanpa memberikan kompensasi yang setimpal kepada rakyat dan lingkungan.

Apa yang terjadi di Kalimantan, Sumatera, atau Sulawesi dengan kekayaan alam yang melimpah, telah terjadi eksploitasi masif, di mana orang-orang asing bisa leluasa mengeruk kekayaan alam Indonesia.

Mereka seolah menjadi pemilik negeri ini. Penduduk lokal hanya bisa melihat dan menelan pil pahit atas realitas ini.

Ironisnya, di tengah senyapnya eksploitasi sumber daya alam ini, sebagian besar masyarakat mengadakan pesta perayaan kemerdekaan.

Mereka terlena dengan perayaan hari kemerdekaan, padahal kehidupan sosial mereka diimpit kemiskinan dan ketidaksetaraan yang menghancurkan.

Pendidikan dan layanan kesehatan sering kali terabaikan, sementara kekayaan alam yang semestinya menjadi milik bersama digunakan untuk memperkaya segelintir orang.

Ritual-ritual perayaan kemerdekaan semacam ini seolah menjadi tabir yang menyembunyikan kenyataan bahwa kemerdekaan sejati belum sepenuhnya menjadi kenyataan.

Substansi Kemerdekaan

Di sinilah pentingnya memiliki kesadaran bahwa merayakan kemerdekaan tidak hanya sekedar memperingati masa lalu, tetapi juga harus merujuk pada masa depan yang lebih baik.

Perlu ada upaya konkret untuk memerangi eksploitasi sumber daya alam dan korupsi yang merajalela.

Reformasi struktural dan pengawasan yang ketat terhadap perusahaan asing serta upaya membangun keadilan sosial dan pemerataan ekonomi harus menjadi prioritas.

Ini seolah menjadi slogan dan harapan kosong. Dikatakan slogan kosong, karena pernyataan ini terus dilakukan oleh mereka berada di struktur kekuasaan.

Dikatakan harapan kosong, karena semboyan ini dipakai sebagai harapan palsu untuk menutupi berbagai kejahatan sosial.

Islam mengajarkan bahwa penghambaan yang sebenarnya bukan kepada makhluk, tetapi kepada Allah semata.

Manusia disebut jahiliah karena tidak tahu arah ke mana yang akan dituju, tidak mengetahui yang benar dan salah.

Alquran menggambarkan manusia merdeka ketika dia menghamba hanya kepada Allah karena petunjuk-Nya.

Dengan menghamba hanya kepada Allah dia menjadi manusia yang bebas menentukan bukan ditentukan orang lain. Cahaya Allah akan membimbingnya ke jalan yang benar. Al-Qur’an menggambarkan hal itu sebagaimana firman-Nya:

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَاۤ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗ مَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِ يْمَا نُ وَلٰـكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَآءُ مِنْ عِبَا دِنَا ۗ وَاِ نَّكَ لَتَهْدِيْۤ اِلٰى صِرَا طٍ مُّسْتَقِيْمٍ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) roh (Alquran) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Alquran) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Alquran itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus,” (QS. Asy-Syura : 52)

Manusia yang dibimbing oleh cahaya kebenaran, selalu sadar atas apa yang dilakukannya. Ketika melakukan sesuatu tanpa ada bimbingan kebenaran maka akan terombang ambing dalam ketidakpastian.

Dikatakan sebagai manusia merdeka ketika dia melakukan sesuatu atas kesadaran, bukan sekedar ritualisme kosong.

Dalam konteks perayaan hari kemerdekaan, warga negara Indonesia ketika melakukan ritual perayaan upacara kemerdekaan, harus benar-benar tertanam jiwa kemerdekaan dari penjajahan, baik penjajahan dari eksploitasi sumber daya alam atau eksploitasi diri yang menjadikannya budak di negaranya sendiri. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini