Kemewahan dan Penghancuran Tatanan Profetik
foto: amnesty.org
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari

Kekayaan yang melimpah dan kedudukan yang kuat tidak menggerakkan hati manusia untuk semakin lembut, tetapi justru semakin keras dan berupaya menghancurkan tatanan profetik.

Bahkan mereka berupaya membunuh para pembawa nilai-nilai profetik. Fir’aun merupakan sosok manusia yang memiliki harta melimpah dan kedudukan yang kuat sehingga ketika datang Nabi Musa membawa kebenaran, serta merta ditolaknya.

Bahkan Nabi Musa diancam akan dibunuh ketika mengajaknya untuk mengikuti petunjuk kebenaran.

Hal yang sama juga dialami oleh Nabi Syu’aib yang mengajak kaumnya bersyukur atas berbagai nikmat, namun mereka justru angkuh dan menolak kebenaran. Allah pun menghinakan penghancur nilai-nilai profetik dengan adzab yang memilukan.

Nikmat Kemewahan

Manusia merupakan makhluk yang sering lupa diri atas berbagai nikmat dan kekayaan yang diterimanya. Asalnya tak memiliki apa-apa, kekuatan fisik yang lemah, dan tak berpengetahuan.

Allah kemudian menolongnya dengan memberi fisik yang kuat dan kepintaran dalam berpikir dan kemampuan berusaha. Atas karunia Allah itu semua, nasibnya berubah, hingga orang yang kaya dan berkedudukan tinggi.

Di puncak karunia Allah itu, justru mereka justru lalai dan menolak ajakan untuk mengagungkan Allah. Mengagungkan merupakan konsekuensi seorang hamba atas berbagai kenikmatan dan kekayaan harta dari Dzat yang Maha Bijaksana.

Alih-alih mematuhi seruan itu, manusia berharta dan berkedudukan itu justru mengingkari dan menolak ajakan mulia, serta menyombongkan diri ketika dibacakan ayat-ayat Allah. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ مَكَّنّٰهُمْ فِيْمَاۤ اِنْ مَّكَّنّٰكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَا رًا وَّاَفْئِدَةً ۖ فَمَاۤ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَاۤ اَبْصَا رُهُمْ وَلَاۤ اَفْئِدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَا نُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰ يٰتِ اللّٰهِ وَحَا قَ بِهِمْ مَّا كَا نُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

“Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah, dan (ancaman) azab yang dahulu mereka olok-olokan telah mengepung mereka.” (QS. Al-Ahqaf : 26)

Bukan hanya menolak dan melecehkan ayat-ayat Allah, mereka justru congkak dan sombong itu dan berniat membunuh pembawa risalah kebenaran itu. Berupaya untuk membunuh karena mereka curiga kepada rasul yang dipandang sedang membuat kerusakan.

Allah mengabadikan hal itu sebagaimana firman-Nya:

وَقَا لَ فِرْعَوْنُ ذَرُوْنِيْۤ اَقْتُلْ مُوْسٰى وَلْيَدْعُ رَبَّهٗ ۚ اِنِّيْۤ اَخَا فُ اَنْ يُّبَدِّلَ دِيْنَكُمْ اَوْ اَنْ يُّظْهِرَ فِى الْاَ رْضِ الْفَسَا دَ

“Dan Fir’aun berkata (kepada pembesar-pembesarnya), “Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhannya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.” (QS. Ghafir : 26)

Kekuasaan dan kedudukan yang kuat justru dimanfaatkan untuk menutup jejak kebenaran. Ketika diajak meniti jalan petunjuk, Fir’aun justru berniat membunuh Nabi Musa dengan dua tuduhan, yakni menukar agama, dan menimbulkan kerusakan di bumi.

Dua stigma ini disematkan kepada Nabi Musa, dan disebarkan ke berbagai kelompok masyarakat. Fir’aun pun merencanakan pembunuhan itu dengan menuduhnya sebagai manusia yang menentang tradisi yang selama ini sudah mengakar.

Kemapanan dan Kemewahan

Seruan untuk mengagungkan Allah juga diserukan rasul kepada kaum Madyan yang sudah memiliki taraf hidup yang mapan. Namun kemapanan itu justru membuat mereka menolak ajaran yang dibawa oleh Nabi Syu’aib.

Mereka hidup makmur dan segala kebutuhan hidup tercukupi. Atas kemapanan dan kemakmuran hidup itu, mereka justru mengagungkan berhala, dan mengurangi takaran ketika berdagang. Allah pun mengutus Nabi Syu’aib untuk menunjukkan jalan yang benar.

Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

وَاِ لٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًا ۗ قَا لَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَـكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗ وَلَا تَـنْقُصُوا الْمِكْيَا لَ وَا لْمِيْزَا نَ اِنِّيْۤ اَرٰٮكُمْ بِخَيْرٍ وَّاِنِّيْۤ اَخَا فُ عَلَيْكُمْ عَذَا بَ يَوْمٍ مُّحِيْطٍ

“Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada Tuhan bagimu selain Dia.

Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (kiamat).” (QS. Hud : 84)

Bukannya mengikuti nasihat profetik, mereka justru menikmati kekayaan dengan bersenang-senang dan hidup berfoya-foya. Hidupnya dihabiskan dengan bermaksiat dan terus melanggar aturan-aturan.

Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:

وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا عَلَى النَّا رِ ۗ اَذْهَبْتُمْ طَيِّبٰـتِكُمْ فِيْ حَيَا تِكُمُ الدُّنْيَا وَا سْتَمْتَعْتُمْ بِهَا ۚ فَا لْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَا بَ الْهُوْنِ بِمَا كُنْـتُمْ تَسْتَكْبِرُوْنَ فِى الْاَ رْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُوْنَ

“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (seraya dikatakan kepada mereka), “Kamu telah menghabiskan (rezeki) yang baik untuk kehidupan duniamu, dan kamu telah bersenang-senang (menikmati)nya; maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan, karena kamu sombong di bumi tanpa mengindahkan kebenaran, dan karena kamu berbuat durhaka (tidak taat kepada Allah).” (QS. Al-Ahqaf : 20)

Kedurhakaan mereka yang hidup dalam kemewahan berakhir dengan azab Allah, karena hidupnya semakin menindas perilakunya semakin kejam.

Mereka pun berencana membunuh para pemberi peringatan untuk melenyapkan kebenaran profetik.

Perilaku bermewah-mewah ini hingga menggelisahkan orang miskin dan terus membuatnya semakin menderita. Warga Rempang di Batam saat ini mengalami penggusuran dan penyingkiran.

Hal ini semata untuk memberi jalan untuk semakin memperkaya diri tanpa memiliki empati melihat orang-orang miskin semakin sengsara.

Kemewahan telah menghalalkan segala cara termasuk menghancurkan tatanan dan norma masyarakat yang mengakar ratusan tahun. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini