Kiai Tafsir: Dakwah Itu Butuh Kekuasaan dan Kreativitas Budaya
Kiai Tafsir menjadi pembicara dalam Rakernas Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. foto: a nidlom/majelistablid.id
UM Surabaya

Berdakwah itu tidak hanya urusan menyampaikan ajaran agama. Berdakwah juga butuh kekuasaan, pengetahuan agama, dan kultur. Ketiganya harus bisa disatukan dengan berlandaskan pada keilmuan.

“Itulah tugas yang diemban dai-dai Muhammadiyah dalam menyebarluaskan ajaran Islam,” kata Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah Dr Tafsir dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Syariah Hotel Solo, Jumat malam (22/9/2023).

Menurut Kiai Tafsir, begitu ia karib disapa, dalam sejarahnya tidak satu pun penyebaran agama-agama di dunia yang mengenyampingkan kekuasaan. Semuanya menggunakan kekuasaan untuk memperkuat dan memperkokoh dakwahnya.

“Kesuksesan Islam di Madinah pada zaman Nabi Muhammad saw juga atas dukungan kekuasaan. Tanpa kekuasaan dakwah tidak lancar,” sebut Kiai Tafsir

Ketika itu, terang dia, Nabi Muhammad menghadapi perlawanan keras dari kaum Quraisy yang acap kali menimbulkan perseteruan yang berujung pada peperangan di masyarakat Madinah.

Berbagai persoalan semasa berdakwah ini berhasil diatasi oleh Nabi Muhammad saw. Hingga pada puncaknya, beliau berhasil menaklukkan Kota Madinah dan menjadikannya bagian dari wilayah kekuasaan Islam.

Begitu pula dengan masalah budaya. Kata Kiai Tafsir, Muhammadiyah sangat berkepentingan budaya. Karena budaya merupakan instrumen untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Semarak tidaknya agama itu sangat tergantung pada kreativitas budaya umatnya.

Itu sebabnya, terang dia, tidak mungkin dakwah dilakukan tanpa budaya. Umat sangat membutuhkan ruang untuk berekspresi, menciptakan hal-hal yang baru, karena hal itu menjadi bagian dari kreativitas manusia.

“Saya mencontohkan keris, itu kreativitas budaya. Menjadi syirik kalau keris disakralkan. Tetapi kalau berdakwah lalu memberantas keris, itu jelas tidak berbudaya,” ujar Kiai Tafsir.

“Jadi yang harus dilakukan adalah desakralisasi, penghilangan kesakralan. Bukan malah merusak kreativitas budayanya,” imbuh pria yang mendapatkan penghargaan UIN Walisongo kategori Dosen Penggerak Moderasi Beragama, tahun 2022 ini.

Kiai Tafsir lalu menceritakan masa mudanya saat di Kebumen, Jawa Tengah. Ketika itu, untuk menyemarakkan kegiatan dakwah, banyak anak-anak muda yang membutuhkan ruang berekspresi. Salah satunya melalui seni musik.

“Kita pun akhirnya menyediakan alat-alat musik tersebut dan dakwahnya menjadi semarak. Mereka pun senang dan selalu tampil di setiap Peringatan Hari Besar Islam,” ungkap Kiai Tafsir.

Dia menambahkan, dakwah juga tak lepas dari politik. Untuk memenangkan pertarungan politik butuh tiga hal, yakni isi kepala, jumlah kepala, dan isi tas.

“Ketiganya harus dipenuhi. Kalau hanya punya isi kepala, jumlah kepala dan isi sedikit, ya sulit untuk menang,” ucap Kiai Tafsir. (*/tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini