Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menemui Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Rombongan yang dipimpin Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti ini, menyampaikan sosialisasi naskah akademik terkait usulan amandemen UUD 1945 agar kembali ke naskah aslinya (naskah sebelum mengalami empat kali amandemen dari tahun 1999-2002) dan disempurnakan.
Pada naskah akademik itu terdapat lima proposal perubahan terkait sistem tata negara. Salah satu yang pokok adalah mengembalikan fungsi dan posisi MPR dari lembaga ad hoc menjadi lembaga tertinggi negara.
Menurut La Nyalla, urgensi mengembalikan naskah UUD 1945 ke naskah awal dan menyempurnakannya disebabkan oleh sistem tata negara yang semakin liberal dan keluar dari jati diri bangsa.
Selain itu, DPD mengkaji bahwa amandemen 1999-2002 menghasilkan kesenjangan keadilan, dan dimensi sosial-ekonomi-politik yang semakin liberal dan kapitalistik.
“Alasannya negara kita ini (sedang) menggunakan demokrasi liberal, sedangkan pendiri bangsa kita itu sudah jelas demokrasi Pancasila. Kita ini jangan sampai mengkhianati Pancasila,” kata dia.
Sebagai unsur utusan golongan, Muhammadiyah menurut Ketua Umum, Haedar Nashir menyatakan apresiasi atas kajian DPD.
Namun Muhammadiyah belum sampai pada tuntutan untuk kembali ke naskah asli UUD 1945 kendati kritik dan kajian Muhammadiyah terhadap amandemen cukup tajam.
Menurut Haedar, Muhammadiyah setuju kajian DPD bahwa ada kesalahan arah pada amandemen UUD 1945 pasca reformasi.
Amandemen yang awalnya hanya ditujukan untuk membatasi masa jabatan presiden, pada akhirnya merembet hingga menurunkan fungsi MPR dari lembaga tinggi menjadi semacam lembaga ad hoc hingga liberalisasi pasal-pasal HAM dan haluan negara.
“Kami menyampaikan pandangan bahwa sejak 2007 kita mengkaji dan menghasilkan tiga buku; Revitalisasi Karakter Bangsa, Indonesia Berkemajuan, dan terakhir Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah yang dalam pandangan kami bahwa setelah reformasi dan amandemen UUD 1945 yang berlangsung 4 kali itu ada memang kerancuan sistem ketatanegaraan kita dan problem-problem yang diakibatkan olehnya menyangkut politik, ekonomi dan budaya yang intinya juga sama, ada proses liberalisasi yang luar biasa,” jelas Haedar.
Tapi, menurut dia, Muhammadiyah belum sampai pada tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli, hanya poin-poinnya relatif sama, yakni kembalikan MPR pada posisi yang tertinggi.
“Soal nanti apakah anggotanya perwakilan politik, perwakilan golongan, perwakilan daerah atau variasi dari itu dan agenda kita mengembalikan MPR pada lembaga tertinggi negara bagaimana pemilihan presiden itu oleh MPR atau tetap langsung oleh rakyat dan ini masalah yang harus dibicarakan dan digodok terus,” tegasnya.
Secara khusus, Haedar menegaskan pesan bahwa Muhammadiyah menyarankan DPD melaksanakan kajian secara seksama, terbuka, dan konstitusional.
“Gagasan ini harus disampaikan secara konstitusional, disampaikan ke berbagai lembaga untuk terus saling dialog, saling diskusi dan tidak lewat gerakan-gerakan politik yang di luar konstitusi karena jika itu terjadi maka akan jadi masalah di kemudian hari,” tutur Haedar.
Jadi, tambah dia, setiap gagasan-gagasan perubahan yang menyangkut konstitusi harus tetap secara konstitusional. Dan bahkan kami sarankan terus perluas komunikasi dengan berbagai lembaga karena ini mnyangkut hal-hal mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegasnya.
Pada silaturahmi ini, Haedar Nashir didampingi oleh Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas dan pimpinan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah.
Sedangkan La Nyalla didampingi Wakil Ketua II DPD RI Mahyudin, Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi, Ketua Kelompok DPD RI Muhammad Syukur, Pimpinan Komite I DPD RI Habib Abdurrahman Bahasyim, dan Ichsanuddin Noorsy. (afn/ded)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News