Salat Witir Dua Kali Dalam Satu Malam, Bolehkah?
foto: seekersguidance.org
UM Surabaya

Pertanyaan:

Benarkah dalil:

لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ ?

Hal ini terjadi karena perdebatan antara yang berpendapat setelah salat lail 13 rakaat, nanti malam boleh salat malam lagi asal tidak witir lagi.

Yang lain makmum setelah 8 rakaat pulang meninggalkan imam, sebab nanti malam akan salat lagi dan witir.

Penanya:

Abu Nahar, Keprabon Tengah I/4a Solo
(disidangkan pada hari Jumat, 10 Shaffar 1427 H / 10 Maret 2006 M)

Jawaban:

Dalil yang saudara sebutkan dalam pertanyaan nomor 1, terdapat dalam hadis:

عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ. [رواه أحمد وأبو داود والترمذى والنسائى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Talq Ibn ‘Ali ia berkata: Saya mendengar Nabi saw bersabda: Tidak ada dua witir dalam satu malam.” [HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai].

At Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan, sedangkan yang lain mengatakan bahwa hadis ini shahih; demikian pula Ibn Hibban mengatakan hadis ini sahih (Asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz III, halaman 55).

Selanjutnya dijelaskan bahwa, hadis ini menunjukkan tidak dibolehkan membatalkan shalat witir yang telah dilakukan. Artinya setelah salat witir seseorang boleh melakukan salat sunat lagi, yakni dengan melakukan salat sunat dengan bilangan genap (dua rakaat-dua rakaat), hingga datangnya waktu subuh. Pendapat ini didasarkan kepada hadis:

عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشَرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوْتِرُ ثُمَّ يُصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَاْلإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُبْحِ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Salamah, ia berkata: Saya bertanya kepada ‘Aisyah ra. tentang salat (malam) Rasulullah saw.

Kemudian ‘Aisyah berkata: Beliau saw melakukan salat 13 rakaat. Beliau salat 8 rakaat, kemudian witir. Lalu beliau salat (lagi) dua rakaat dilakukan dengan duduk.

Jika beliau akan rukuk beliau berdiri kemudian rukuk dan salat dua rakaat antara azan dan iqamah di waktu salat subuh.” [HR. Muslim].

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الوِتْرِ. [رواه الترمذى وأحمد وابن ماجه وَزَادَ وَهُوَ جَالِسٌ].

“Diriwayatkan dari Ummu Salamah diterangkan bahwa Nabi saw melakukan salat dua rakaat setelah salat witir.” (HR. at-Tirmidzi, Ahmad dan Ibnu Majah)

Dalam riwayat beliau ada tambahan bahwa Nabi melakukan salat tersebut dengan duduk.

Pendapat ini, dikemukakan oleh kebanyakan ulama, di kalangan para sahabat antara lain: Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Ammar Ibn Yasir, Rafi’ Ibnu Khudaij. ‘Aid Ibn ‘Amr, Talq Ibnu ‘Ali, Abu Hurairah, Aisyah, Sa’d Ibnu Abi Waqash, Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas.

Dari kalangan tabi’in yang berpendapat seperti di atas antara lain: Sa’id Ibnu Musayyab, ‘Alqamah, asy-Sya’bi, Ibrahim an-Nakha’i, Sa’id Ibnu Jubair, Makkhul, al-Hasan al-Bishri dan Thawus.

Sedangkan dari kalangan para imam mazhab, antara lain: Sufyan ats-Tsauri, Malik, Ibnu al-Mubarak dan Ahmad (AsySyaukani, Nailul-Authar).

Dalam pada itu ada ulama yang tidak sependapat, dengan mengatakan: jika setelah salat witir dilakukan salat dua rakaat-dua rakaat, berarti salat yang terakhir di waktu malam tidak ganjil bilangan rakaatnya; yang sekaligus berlawanan dengan hadis:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوأ آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا. [رواه الجماعة إلا ابن ماجه].

“Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar diterangkan bahwa Nabi saw bersabda: Jadikanlah yang terakhir salatmu di waktu malam salat witir.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah].

Tegasnya pendapat ini menyatakan bahwa salat witir adalah salat terakhir di waktu malam. At-Tirmidzi mengatakan pendapat ini didukung oleh sekelompok sahabat.

Menghadapi perbedaan pendapat ini, dengan menggunakan qa’idah tarjih yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama, bahwa apabila terjadi pertentangan antara dua dalil, yang satu menetapkan adanya perbuatan yang disyariatkan sedang dalil yang lain menetapkan tidak adanya perbuatan yang disyariatkan, dikuatkan dalil yang menetapkan adanya perbuatan yang disyariatkan (Al-Hafnawi, at-Ta’arud wat-Tarjih ‘indal-Ushuliyyin wa Atsaruhuma fi Fiqhil-Islamiy, halaman 360-361), maka kami cenderung kepada pendapat yang pertama. (*/tim)

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No.12, 13, 2006.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini