Nilai Sumpah Pemuda Luntur, Sentimen Primordialisme Makin Kuat
Wakil Rektor II UHAMKA Desvian Bandarsyah.
UM Surabaya

Beberapa sejarawan menganggap Sumpah Pemuda 28 Oktober 1948 sebagai penanda perubahan corak perjuangan Indonesia dari primordialisme menuju nasionalisme modern. Namun setelah berlalu 95 tahun, Indonesia membutuhkan refleksi dan penyegaran kembali pada substansi Sumpah Pemuda.

Menurut  Wakil Rektor II UHAMKA Desvian Bandarsyah, keadaan kebangsaan Indonesia sekarang mengalami paradoks di mana sentimen primordialisme semakin menguat dalam kehidupan kebangsaan, politik, ekonomi, budaya, hingga agama.

“Kecerdasan dan kecintaan itu semakin dibutuhkan mengingat isu kebangsaan kita selalu dibajak oleh sentimen primordial berbasis etnis, politik, ekonomi, dan agama, terutama pada hari-hari belakangan semakin menguat sentimen semacam itu yang menjadikan sendi-sendi kebangsaan kita mengalami kerapuhan sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara yang lembek dalam menghadapi persoalan yang menghadapinya,” jelas Desvian pada Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertajuk “95 Tahun Sumpah Pemuda: Reinvensi Peran Muhammadiyah”, Jumat (20/10).

Prihatin atas kondisi kebangsaan ini, Desvian berharap Persyarikatan Muhammadiyah mempersiapkan kader-kader mudanya untuk berdiaspora memperjuangkan substansi Sumpah Pemuda di berbagai bidang.

“Bagaimana nilai-nilai masa lalu yang bersumber pada Sumpah Pemuda itu dapat kita temukan kembali untuk meningkatkan peran-peran Persyarikatan kita menjadi lebih kokoh, anggun, dan aktual di dalam mendorong generasi muda bangsa untuk memberikan spirit pengorbanannya kepada bangsa kita,” harap Desvian.

“Yakni dengan berjuang dan memperjuangkan pemikiran, perasaan dan tindakan yang mengarah pada upaya membangun harmoni ekonomi, politik, budaya, hukum dan segala harmoni yang bisa mengurus hajat hidup kebangsaan kita dalam bingkai Keindonesiaan,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Sumpah Pemuda menghimpun berbagai kalangan suku, asal daerah, dan agama untuk bersepakat secara kolektif pada tiga hal, yakni kesamaan tanah air, kesamaan bangsa, dan kesamaan bahasa.

“Kesadaran semacam itu berarti menyingkirkan warisan feodalisme yang bersarang pada rasa superioritas sukuitas dan etnisitas yang berbasis pada primordialitas kelompok dan kedaerahan yang itu juga menjadi faktor utama kegagalan Indonesia untuk melepaskan diri dari kolonialisme sehingga dapat memerdekakan dirinya,” ungkap Desvian Bandarsyah.

“Jadi kemerdekaan Indonesia pada 1945 tidak bisa dipungkiri berasal dari pantulan-pantulan semangat persatuan yang dikumandangkan oleh generasi-generasi muda sebelumnya pada tahun 1928,” imbuhnya.

Lebih lanjut dijelaskan, anasir kepentingan pribadi dan kelompok semakin kental, ritus kebangsaan kita mengalami kesunyian yang mencekam di tangan para elit Indonesia pada hari ini. Kalangan elit dan pemuda cenderung menjadi klien dalam patron politik. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini