Kisah Anak Buruh Serabutan Raih S1 dan S2 dengan Beasiswa di UM Surabaya
Siti Uswatun Khasanah, alumnus UM Surabaya. foto: humas
UM Surabaya

Ketekunan selalu membuahkan hasil yang manis. Begitulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan perjalanan Siti Uswatun Khasanah, alumnus Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang kuliah S1 dengan beasiswa Bidikmisi.

Perempuan asal Desa Simorejo, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro tersebut berhasil lulus dari UM Surabaya dengan IPK Cumlaude. Da juga berhasil menjadi wisudawan terbaik peraih prestasi non akademik terbaik pada tahun 2018.

Selama menjadi mahasiswa di UM Surabaya, Uswatun aktif di organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) pada Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan selama tiga tahun.

Uswatun juga aktif sebagai jurnalis kampus, saat menjadi mahasiswa ia pernah dinobatkan sebagai Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) tahun 2017. Dia kerap mengikuti lomba puisi dan cerpen tingkat nasional. Beberapa cerpen karyanya ada yang mendapat penghargaan.

Kesukaannya pada dunia tulis menulis mengantarkannya untuk menulis beberapa buku di antaranya, Merawat Luka (2018), Sajak Rindu (2019) dan Sebelas Purnama (2020) yang telah tercetak ratusan exemplar yang hingga hari ini bisa dibeli pada marketplace.

***

Siti Uswatun Khasanah adalah anak pertama dari pasangan Sahal dan Kasmidah. Sahal bekerja sebagai buruh serabutan dan pencari rumput. Sahal tidak lulus Sekolah Dasar (SD), sementara ibunya Kasmidah hanya lulus SD.

Keluarga Uswatun memang hidupnya serba pas-pasan. Namun kondisi itu mengajarinya akan banyak hal.

“Saya masih ingat betul ketika kelas 2 SMP saya sering dipanggil oleh guru karena belum bisa membayar LKS. Saya juga masih ingat, ketika saya jadi anak yang paling terakhir yang baru bisa membayar kaos olahraga kala itu,” kenang Uswatun, Minggu (22/10/2023)

Ketika Uswatun masuk SMP, bapaknya divonis diabetes sehingga tidak bisa bekerja serabutan setiap harinya. Keaddan itu memaksa ibunya menggantikan bekerja serabutan di sawah orang.

Uswatun bukan termasuk anak yang pandai di kelasnya. Bahkan saat SMP, ia hanya rangking 14. Setelah lulus dari SMP Uswatun hampir putus sekolah karena kendala biaya. Namun melihat keinginan kuat anaknya, Sahal lantas mencarikan sekolah.

Uswatun melanjutkan sekolah di MA Muhammadiyah 2 Banjaranyar, sekolah yang pembayarannya bisa dibayar setiap 6 bulan, kadang juga satu tahun.

“Karena kuatnya saya ingin sekolah, bapak mencarikan saya sekolah ke sana-ke mari. Alhamdulillah, waktu itu sekolahnya bayarnya bisa diutang, jadi bayarnya nunggu pas bapak ada panen di sawah,” ungkapnya.

Untuk bisa bersekolah, Uswatun harus menempuh jarak 12 km setiap harinya dengan sepeda ontel, karena keluarganya tidak memiliki sepeda motor.

Di sekolah tersebut, Uswatun berusaha menjadi yang terbaik di kelas. Selama tiga tahun ia menduduki peringkat 2 di kelas dari 32 siswa. Ia juga beberapa kali memenangkan loma menulis dari tingkat Kabupaten hingga Provinsi.

Keaktifannya dalam mengikuti lomba berbuah manis karena ia mendapat potongan untuk pembayaran SPP.

Setelah selesai mengikuti UN, Uswatun sempat tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Bojonegoro selama dua bulan.

Dia mengikuti les agar bisa lolos tes masuk perguruan tinggi. Di panti asuhan tersebut ia juga belajar banyak hal mulai dari membuat tempe, memerah susu sapi dan keliling jualan tempe.

“Setelah beberapa kali mendaftar, terakhir saya mendaftar di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Saya masih ingat, waktu itu biaya daftarnya Rp 350 ribu. Untuk bisa membayar biaya tes kala itu bapak menjual seluruh ayamnya yang ada di kandang,” ujarnya.

“Untuk biaya berangkat ke Surabaya, bapak jual persediaan gabah yang ada di rumahnya,” imbuh dia..

Uswatun menuturkan, kedua orang tuanya punya kesadaran yang tinggi akan pendidikan, mereka mereka cuma protolan SD. Dia ingat betul pesan bapaknya: “Peninggalan terbaik untuk seorang anak itu adalah ilmu pengetahuan.”

***

Saat ini, Uswah diterima sebagai mahasiswa Pascasarjana di Universitas Airlangga Prodi Kajian Sastra dan Budaya dengan bantuan Beasiswa Unggulan dari Kemendikbud.

“Setiap orang memiliki waktunya masing-masing. Dulu, setelah lulus langsung kerja jadi guru di sekolah dasar selama tiga tahun. Setelah bapak meninggal, saya pindah bekerja sebagai seorang jurnalis. Alhamdulillah, takdirnya bersekolah lagi di tahun ini,” tutur dia

Uswatun lantas membagikan tips belajarnya. Menurut dia, sejak SMA, ketika ia memiliki mimpi berkuliah ia sering meminjam buku perpustakaan lalu ia bawa pulang.

Kata Uswatun, setiap orang perlu memiliki kesadaran dalam menumbuhkan habit membaca, dengan membaca untuk menambah wawasan. Ketika memiliki wawasan, ia akan memiliki cara pandang yang luas dan bijak dalam menyikapi setiap persoalan.

Cara belajar yang kedua adalah menulis. Menurutnya sejak di bangku SMA pula, apa yang disampaikan gurunya selalu ia catat kembali dalam sebuah buku. Mencatat menjadi hal yang penting karena ingatan manusia sangat terbatas.

“Dulu, ketika masih sekolah dan kuliah S1 ketika saya membaca buku yang sulit dipahami. Setelah selesai membaca, saya mencoba menarasikan ulang apa yang telah saya baca ke dalam sebuah tulisan. Jadi akhirnya saya mudah ingat,” beber Uswatun.

Terakhir, untuk mendapatkan beasiswa kuncinya harus sering berlatih, fahami polanya dan sering-seringlah riset pengalaman orang lain, baik itu secara langsung atau online lewat youtube.

“Jika kamu masih SMA atau S1, perbanyak kegiatan organisasi dan perbanyak prestasi baik akademik maupun non akademik karena hal tersebut sangat membantu dalam penulisan essay dan wawancara,” katana.

“Saya meyakini selain usaha dan sebagainya, ada hal yang tidak boleh kita tinggalkan saat kita akan meraih sesuatu yakni ridho dan doa orang tua,” pungkas Uswatun. (*/is)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini