Apakah Mengkaji Turas atau Kitab Kuning Masih Relevan Hingga Saat ini?
Sekretaris Umum Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir.
UM Surabaya

Turas pada dasarnya merupakan segala hal yang datang dari masa lalu dan bersifat general. Dalam konteks yang lebih spesifik, turas biasanya dimaknai sebagai warisan intelektual Islam dari masa lalu. Di Indonesia, secara sederhana, turas sering dikonotasikan sebagai kitab kuning.

Kitab kuning adalah sebutan untuk berbagai naskah Islam klasik yang berisi ajaran agama, hukum, pemikiran Islam, dan sebagainya. Dalam acara yang diselenggarakan PCINU Maroko pada Ahad (21/10), Sekretaris Umum Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir menegaskan bahwa meskipun warisan masa lalu, turas tetap memiliki relevansi di masa saat ini.

Menurut Rofiq, turas merupakan perbendaharaan intelektual yang sangat kaya. Dalam naskah-naskah ini terdapat pengetahuan yang telah diperkaya selama berabad-abad, mencakup berbagai aspek kehidupan keagamaan maupun secara umum. Kemudian, turas telah mengukir namanya dalam sejarah. Ia bukan sekadar warisan intelektual, melainkan juga saksi bisu perkembangan Islam dan masyarakatnya sepanjang masa.

“Perbedaan mendasar antara manusia dan binatang terletak pada konsep turas,” ucap Rofiq.

Bagi binatang, termasuk burung, sarang mereka adalah konstruksi yang bersifat turun-temurun, sama dari masa lalu hingga masa kini, bahkan mungkin di masa depan. Bentuk, bahan, dan konstruksi sarang burung akan selalu konsisten.

Namun, manusia memiliki kemampuan unik yang membuatnya berbeda. Manusia mampu mengakumulasi pengetahuan dari generasi sebelumnya, dan ini terutama dilakukan melalui membaca dan mempelajari karya-karya yang telah ada sebelumnya. Manusia bisa memanfaatkan pengetahuan ini untuk terus-menerus memperbaiki dan mengembangkan karya-karya mereka.

Konsep turas ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berkembang, belajar, dan mencipta secara berkelanjutan. Ini adalah salah satu pilar fondasi dari perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya manusia. Kemampuan kita untuk mengakses, memahami, dan memperkaya pengetahuan kita dari masa lalu adalah apa yang membedakan kita dari makhluk lain di planet ini.

Keunikan lainnya dari turas adalah hasil kelahiran dari Islam itu sendiri. Ini membuatnya menjadi sesuatu yang asli, organik, dan berakar dalam tradisi Islam yang otentik. Turas juga berfungsi sebagai sumber otoritas dan legitimasi dalam dunia intelektual Islam. Para cendekiawan dan pemikir Islam seringkali merujuk kepada naskah-naskah klasik ini sebagai dasar dalam mendukung argumen dan ajaran mereka.

Selanjutnya, turas adalah akumulasi dari pengetahuan. Para sarjana Muslim modern tidak harus memulai dari awal; mereka dapat memanfaatkan kekayaan pengetahuan yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu mereka. Turas memiliki kemampuan untuk menghubungkan umat Islam dari berbagai masa sejarah. Ia menjembatani kita dengan generasi-generasi sebelumnya dan membantu kita memahami akar sejarah umat Islam.

Selain itu, pencarian dan produksi pengetahuan dalam turas selalu berpusat pada etika. Ini bukan hanya tentang pengetahuan akademis, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan tersebut digunakan untuk kebaikan dan moralitas. Turas memberikan pandangan holistik tentang pemikiran integratif dan polimatik, yang berarti ia mendorong pendekatan yang menyatukan berbagai aspek pengetahuan.

“Para ulama dulu itu punya kemampuan lintas disiplin ilmu. Ar-Razi adalah salah seorang polimatik terbesar dalam sejarah Islam. Ia mengarang kitab Mafatih al-Ghaib, karya-karya di bidang astronomi, kedokteran, ia menyatukan ilmu kalam dan filsafat. Jadi, mempelajari turas sejatinya kita sedang menyerap energi ensiklopedis dari para ulama hebat,” ucap Rofiq. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini