*) Oleh: Dr. Slamet Muliono Redjosari
Tulisan ini membahas tentang proses pembusukan terhadap nilai-nilai profetik (kenabian) yang dilakukan oleh para elite masyarakat.
Para rasul berdakwah untuk menyebarkan nilai-nilai untuk mengangkat derajat manusia, namun para elite masyarakat justru melakukan hal yang sebaliknya.
Tindakan elite masyarakat ini dalam rangka untuk melindungi kepentingannya yang sudah mapan.
Kedudukan mereka merasa terancam bila nilai-nilai profetik itu tersebar luas, sehingga melakukan tindakan tercela yang justru merendahkan dirinya sendiri.
Namun tindakan mereka bukan menyelamatkan kedudukannya, tetapi justru menghinakannya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menunjukkan adanya upaya untuk mengubur nilai-nilai keadilan dan kejujuran.
Dengan adanya putusan kontroversial itu, lahirlah berbagai kecaman dan menciptakan ketidakpercayaan terhadap Mahkamah yang selama ini diagungkan seluruh masyarakat Indonesia.
MK dan Pembusukan Nilai
Tegaknya keadilan merupakan misi yang diperjuangkan oleh para rasul. Mereka berjuang begitu gigih hingga mendapatkan penolakan dan perlawanan yang keras, baik secara tersembunyi maupun terbuka.
Apa yang terjadi dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini merupakan fenomena adanya penolakan atau perlawanan terhadap tegaknya nilai-nilai keadilan.
Mereka melakukan proses pembusukan terhadap nilai-nilai yang diagungkan masyarakat. MK sebagai institusi yang sangat diagungkan oleh masyarakat, tetapi justru melakukan pembusukan nilai-nilai keadilan itu.
Sebagaimana diketahui bahwa putusan MK baru-baru ini dipandang tercela sehingga melahirkan berbagai kecaman dari berbagai elemen Masyarakat.
Dikatakan tercela karena memutuskan perkara yang menunjukkan merosotnya independensi para hakim.
Hal ini sebagaimana dikatakan oleh pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona.
Dia menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menunjukkan kemunduran demokrasi dan kemerosotan independensi hakim konstitusi.
Putusan MK tersebut terkait batas usia capres-cawapres menjadi 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah. (republika.co.id)
Dikatakan kemunduran demokrasi dan kemerosotan independensi karena apa yang diputuskan MK berpotensi besar menginjak-injak nilai-nilai keadilan dan hanya sebagai perantara untuk kepentingan sesaat.
Apa yang dilakukan oleh MK ini tidak lepas dari peran yang dilakukan oleh para tokoh yang bersinergi terwujudnya kepentingan sesaat.
Atas tindakan ini, masyarakat pun menyebut MK dengan Mahkamah Keluarga. Hal ini dengan beberapa alasan.
Pertama, Ketua MK-Anwar Usman adalah ipar dari Presiden Jokowi dan Gibran adalah anaknya, yang berarti adalah keponakan Ketua MK Anwar Usman.
Yang menjadikan putusan MK tersebut sarat dengan conflict of interest untuk memuluskan politik Gibran-Jokowi.
Kedua, gugatan yang dikabulkan adalah permohonan gugatan dari Almas-Mahasiswa UNS yang menyebut nama Gibran yang dengan tegas mengatakan sebagai pengagum Gibran untuk legal standing-nya, dan dalam gugatannya mengedepankan argumentasi hasil survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) terhadap Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang dirilis oleh Program Pasca Sarjana dan Program Magister Administrasi Publik Universitas Slamet Riyadi Surakarta sebagai argumentasi data yang dianggap akademik.
Ketiga, benang merah gugatan dengan adanya conflict of interest dari Anwar Usman sebagai Ketua MK tak bisa terhindari, dan tak bisa terbantahkan. Sehingga Ketua MK berapologi, bahwa MK berhak menafsir ulang dalam hal Open Legal Policy yang dulu dikatakannya sebagai harga mati pembentuk UU. (demokratis.co.id)
Sebagai keponakan Anwar Usman, selaku ketua MK, dipandang memiliki kepentingan (interest) terhadap Gibran.
Dengan adanya putusan MK ini, maka membantu lolosnya Gibran sebagai Cawapres untuk mendampingi Capres, Prabowo Subianto. Putusan sarat kepentingan inilah yang dipandang telah meruntuhkan kehormatan MK yang selama ini memiliki track record yang baik.
Bahkan saat ini MK dipandang mengalami proses pembusukan, karena masyarakat sudah tidak lagi percaya terhadap kehormatannya, kerena bisa dipengaruhi oleh oleh mereka yang memiliki kepentingan sesaat.
Perjuangan Rasul
Alquran mengabadikan perjuangan para rasul untuk menegakkan kebenaran. Para utusan Allah ini bukan hanya mengalami penolakan tetapi juga perlawanan.
Penolakan dan perlawanan ini dipelopori oleh para elite masyarakat yang umumnya orang-orang yang hidup mapan. Tindakan penolakan dan perlawanan itu dilakukan dengan dua cara.
Pertama, melakukan provokasi dengan memfitnah dan pembusukan karakter para rasul. Kedua, menghina para pengikutnya. Alquran mengabadikan sinergi para tokoh penolak kebenaran itu sebagaimana firman-Nya:
فَقَا لَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ مَا نَرٰٮكَ اِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرٰٮكَ اتَّبَعَكَ اِلَّا الَّذِيْنَ هُمْ اَرَا ذِلُــنَا بَا دِيَ الرَّأْيِ ۚ وَمَا نَرٰى لَـكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍۢ بَلْ نَظُنُّكُمْ كٰذِبِيْنَ
“Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya.
Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.” (QS. Hud : 27)
Apa yang dialami para rasul terdahulu hampir semuanya mengarah kepada pembusukan karakter yang dilekatkan pada dirinya. penolak kebenaran itu menganggapnya sebagai manusia biasa.
Dengan menganggap sebagai manusia biasa dalam rangka menolak ajaran yang dibawanya. Para penolak kebenaran juga menghinakan para pengikutnya sebagai orang bodoh yang mudah percaya kepada ajarannya.
Tuduhan atau stigma buruk yang dialamatkan kepada para rasul itu beragam. Di antaranya dituduh dengan orang gila, kurang waras. Dan bahkan dituding sebagai tukang sihir.
Pembusukan terhadap nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang dibawa para rasul itu, tidak lain untuk menutupi karakter buruk mereka yang selama berlangsung di tengah masyarakat.
Praktik ketidakadilan dan kedzaliman seringkali oleh mereka yang memiliki kedudukan tinggi. Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya:
اَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَا نَتْ لِمَسٰكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَاَ رَدْتُّ اَنْ اَعِيْبَهَا ۗ وَكَا نَ وَرَآءَهُمْ مَّلِكٌ يَّأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
“Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.” (QS. Al-Kahfi : 79)
Apa yang dilakukan oleh Khidr dengan melubangi perahu yang ditumpanginya bukan untuk membinasakan dirinya, tetapi untuk menyelamatkan perahu dari rampasan yang dilakukan oleh seorang raja yang zalim.
Tindakan melobangi perahu merupakan langkah taktis untuk menyelamatkan properti (perahu) yang menjadi milik orang miskin. Perahu itu dipergunakan untuk mencari nafkah.
Fenomena di atas setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, adanya perjuangan para rasul untuk melawan kezaliman yang dilakukan oleh para penguasa, tanpa melalui jalur kekerasan.
Perjuangan para rasul menggunakan cara-cara yang moderat, sehingga bisa menyelamatkan kehidupan orang-orang miskin dari kezaliman penguasa.
Kedua, adanya pemimpin yang yang menggunakan berbagai cara untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka, baik berlaku zalim baik secara terbuka maupun tersembunyi.
Apa yang dilakukan oleh seorang raja dengan merampas perahu para nelayan merupakan tindakan zalim secara terbuka.
Sementara langka mempengaruhi putusan MK merupakan tindakan zalim yang dilakukan secara tersembunyi.
Kezaliman manusia yang dilakukan, baik secara terbuka maupun tertutup, pada akhirnya terkuak dan masyarakat pun pada akhirnya mengetahuinya. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News