Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti meminta kepada mubalig Muhammadiyah supaya menyampaikan materi pengajian dengan menarik. Pengajian yang menarik hematnya, akan bisa menarik perhatian umat supaya bersimpati kepada Muhammadiyah.
Bersamaan dengan itu, Mu’ti juga mengingatkan supaya pengajian Muhammadiyah jangan disampaikan dengan keras-keras. Bahkan sesekali dengan dibumbui bercanda dan penyampaian yang renyah diperlukan untuk menarik umat.
“Nabi Muhammad ini suka bercanda, lho. Tapi bercandanya tidak saru-saru, berbeda dengan kita. Tapi saya kira Muhammadiyah tidak, karena memang tidak bisa bercanda,” ungkap Mu’ti pada (22/10) di Lamongan.
Menurutnya, salah satu penyebab umat Islam meninggalkan Muhammadiyah karena ngajinya kurang menarik. Maka mubalig harus memiliki amunisi/bahan yang siap disampaikan untuk mad’u atau objek dakwah.
Guru Besar Pendidikan Islam menegaskan, tidak boleh lagi ada mubalig Muhammadiyah ketika mengisi pengajian dengan materi asal-asalan atau asal bunyi saja. Mubalig harus banyak membaca, membangun relasi sosial, dan seterusnya.
Terkait dengan konten dakwah yang dikemas dengan renyah dan dibumbui bercanda, Abdul Mu’ti menyebut itu adakalanya perlu karena untuk membangun konsentrasi. Tidak sepenuhnya benar bercanda itu akan mematikan hati.
Selain berdakwah melalui khutbah, Mu’ti juga menyebut dakwah bil qalam, atau tulisan juga telah mentradisi di Muhammadiyah. Bahkan terdapat Suara Muhammadiyah dan Suara ‘Aisyiyah sebagai majalah Islam tertua yang terbit tanpa henti sampai sekarang.
“Suara Muhammadiyah itu majalah yang tidak pernah berhenti terbit, terus saja dan sampai lebih dari satu abad. Dan dulu ketika mendapatkan penghargaan itu saya rasa sudah sangat wajar, dan kemudian Suara ‘Aisyiyah,” kata Mu’ti.
Dakwah melalui tulisan yang diprakarsai oleh Suara Muhammadiyah menjadi ciri khas yang melekat pada Persyarikatan Muhammadiyah, yang saat itu dikenal sebagai gerakan literasi.
Tradisi menulis ini juga telah ada sejak zaman Nabi Muhammad, di mana setiap wahyu yang turun dibacakan maka para sahabat diminta untuk menuliskan ulang. Sehingga selain selain tradisi membaca, dalam Islam juga terdapat tradisi menulis. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News