Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta melahirkan Risalah Islam Berkemajuan. Hal itu menjadi penegas identitas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dan tajdid.
Pemakaian istilah “Islam Berkemajuan” sendiri bukanlah reduksi kepada keluasan makna Islam. Melainkan sebuah penekanan terhadap warna Islam yang aplikatif dan bisa dibawa oleh Muhammadiyah. Perumusan istilah Islam Berkemajuan melalui diskusi panjang para ahli di Persyarikatan.
Islam Berkemajuan sendiri menurutnya memiliki lima ciri utama (al-khasaaish al-khamsah). Pertama, berlandaskan tauhid. Jika dalam keyakinan Muhammadiyah, tauhid itu bukan hanya sekadar keyakinan, tapi juga pengamalan. Selain itu, Muhammadiyah menghindari perdebatan kalam ataupun teologis.
Garis besarnya bahwa tauhid yang jadi landasan bagi Muhammadiyah atau Islam Berkemajuan itu adalah tauhid yang punya implikasi bagi kehidupan sosial, bagi alam semesta.
Juga bagaimana manusia sebagai makhluk yang tunggal itu harus dimuliakan, ditinggikan derajatnya, dicerahkan dengan dakwah penuh cinta agar mereka kembali ke jalan yang benar dan menghindari jalan yang sesat.
Kedua, kembali kepada Alquran dan Sunah. Pada poin ini, Muhammadiyah menjadikan Alquran dan Sunah sebagai pedoman. Namun, meski demikian Muhammadiyah tidak asal menelannya secara mentah-mentah (tekstual).
Bagi Islam Berkemajuan, kembali itu tidak semata-mata bermakna tekstual bahwa semua ayat harus dimaknai apa adanya, begitu pula hadis Nabi. Tapi ada dimensi logika, ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus kita libatkan dalam memaknai Alquran dan Sunah itu.
Contoh paling aktual soal ini adalah cara Muhammadiyah mengartikan hadis terkait penentuan waktu puasa Ramadan yang bunyinya, “Shumu li ru’yatii wa afthiru li ru’yatihi fa in ghummiya ‘alaikum al-syahru fa ‘uddu tsalatsina.”
Ketiga, menghidupkan ijtihad dan tajdid. Pada poin ini, Muhammadiyah berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak akan tertutup sampai akhir zaman.
Bagi Muhammadiyah, baik secara normatif maupun tidak, ijtihad itu tidak pernah tertutup, terus terbuka bahkan sampai ashrun (zaman) taklid pun, tetap ada orang yang berijtihad.
Keempat, mengembangkan wasatiyah. Sikap tengahan (wasatiyah) inidiambil dari makna Surat Al-Baqarah ayat 143 untuk menjadi umat tengahan (ummatan wasathan). Dalam berbagai tafsir, ummatan wasathan diartikan sebagai umat terbaik (khairu ummah).
Maka, harus dipertahankan kewasatiyahan ini dan jangan sampai terseret ke kanan yang ekstrim atau ke kiri yang tasahul, meremehkan (syariat). Jadi tidak terlalu liberal dan tidak terlalu konservatif.
Kelima, menunjukkan sifat rahmatan lil-‘alamin. Sifat ini kata Syafiq ditunjukkan kepada siapa pun tanpa membeda-bedakan latar belakang. Termasuk kepada yang berbeda agama, dan kepada lingkungan.
Bagaimana kita menjadi rahmat bagi lingkungan. Ini saya kira pemahaman yang komprehensif, bukan berarti reduksionis yang menyederhanakan Islam menjadi sekadar rahmat, tapi karena memang isi dari Islam itu adalah rahmatan lil-‘alamin.
Maka, menjadi tugas kita semua untuk mewujudkan lima ciri khas atau al khasaaish al khamsah ini supaya menjadi ciri dari kita baik keputusan yang diambil Tarjih, kebijakan pimpinan, maupun gerakan dan pengkhidmatan kita untuk membangun dunia yang aman dan sejahtera karena mendapat limpahan dari rahmatan lil-‘alamin.
Ijtihad Baru
Sebagai organisasi yang beridentitas tajdid (pembaruan) dan faham Islam Berkemajuan, Muhammadiyah meyakini bahwa pintu ijtihad terbuka sampai akhir zaman.
Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, para alim, fakih, dan pakar ilmu di bidangnya masing-masing, memiliki otoritas mengkaji suatu hal dan berijtihad secara kolektif (jama’i).
Muhammadiyah memandang ijtihad sebagai kewajiban. Ijtihad sendiri pada umumnya dilakukan untuk menentukan suatu hukum pada kasus tertentu atau kasus baru yang belum tersedia hukumnya baik melalui nash Alquran, hadis, dan juga ijma maupun fatwa para ulama terdahulu.
Untuk melakukannya, Muhammadiyah juga menghimpun para ulama laki-laki dan perempuan berdasar kualifikasi kepakaran. Pada beberapa aspek, Muhammadiyah juga menekankan pelibatan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir.
Karena melibatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sifatnya niscaya terus mengalami perkembangan dan berubah semakin canggih, Muhammadiyah tidak sepakat dengan satu kaidah Ushul Fikih yang berbunyi, Al-Ijtihadu Laa Yunqadu Bil-Ijtihad, atau “Hukum hasil ijtihad seorang mujtahid terdahulu tidak dapat dibatalkan oleh hukum hasil ijtihad kemudian.”
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan peradaban, kita bisa menghasilkan ijtihad baru yang membatalkan ijtihad yang lama. Sehingga kalau (ada kaidah) ijtihad satu tidak membatalkan yang lain, maka Muhammadiyah tidak menganut faham itu.
Kedua, tidak hanya membatalkan ijtihad di masa yang lalu, tapi kita juga bisa mengonfirmasi atau memodifikasi ijtihad di masa yang lalu. Maka dengan ini ijtihad akan terus berkembang dan bisa jadi pengayaan dalam konsep Persyarikatan Muhammadiyah. (*)
(Disarikan dari ceramah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Syafiq A. Mughni dalam Pengajian Ramadan 1444 H di UMY, Sabtu, 25 Maret 2023 yang dirilis muhammadiyah.or.id).