Tokoh Buddha Kagumi Pendirian Muhammadiyah di Zaman Kolonial
Tokoh-tokoh Buddha internasional berkunjung ke Museum Muhammadiyah di Yogyakarta
UM Surabaya

Tokoh-tokoh Buddha yang tergabung dalam International Network of Engaged Buddhists (INEB) berkunjung ke Museum Muhammadiyah di Yogyakarta pada Rabu (22/11/2023). Kunjungan ini dalam rangka mengenal gerakan Muhammadiyah secara historis, sebelum menggelar Interfaith Diapraxis di Madrasah Muallimin Muhammadiyah.

Di Museum Muhammadiyah, sebanyak 47 tokoh Buddha dari 17 negara ini disambut oleh Sekretaris Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yayah Khisbiyah. Yayah menjelaskan bahwa museum ini didirikan untuk merekam jejak historis Muhammadiyah dalam upaya mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Setelah sambutan, para tokoh Buddha menjelajahi setiap ruang museum dengan panduan dua tour guide. Mereka mendapatkan penjelasan rinci tentang berdirinya Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta. Sambil melihat koleksi seperti bola dunia, poster kongres Muhammadiyah dari masa ke masa, dan foto-foto tokoh Muhammadiyah-‘Aisyiyah, mereka mendapatkan pemahaman mendalam tentang perjalanan organisasi ini.

Setelah dari sana, tokoh-tokoh Buddha ini diajak ke diorama replika kapal uap yang mengilustrasikan kapal yang digunakan oleh KH Ahmad Dahlan saat berhaji. Lanjut ke sudut ruangan yang lain, mereka disuguhkan dengan penjelasan tour guide tentang perubahan arah kiblat yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan.

Seorang pengunjung terkesan dengan upaya Ahmad Dahlan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan di tengah ketidaksetujuan terhadap ilmu pengetahuan pada masa itu.

“Oh, jadi Ahmad Dahlan ini memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan keagamaan. Ini sangat menarik di mana saat itu orang antipati dengan ilmu pengetahuan, utamanya yang dianggap dari Barat,” tutur salah seorang pengunjung.

Museum Muhammadiyah juga memperlihatkan upaya keras KH Ahmad Dahlan dalam mengajukan permohonan badan hukum kepada pemerintah Hindia Belanda. Proses ini, meski dihadapi dengan berbagai kendala, akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Surat Ketetapan Pemerintah No. 18 tanggal 22 Agustus 1914. Namun, izin ini terbatas hanya untuk daerah Yogyakarta, sehingga aktivitas Muhammadiyah diizinkan hanya di wilayah tersebut.

Di ruang diorama lantai ketiga, para pengunjung dari berbagai negara diajak melihat lebih dekat sejarah organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah. Beberapa di antara mereka menunjukkan kekaguman terhadap pakaian ‘Aisyiyah yang identik dengan penggunaan hijab. Mereka aktif bertanya mengenai alasan di balik pemakaian pelindung kepala ini, dan seorang tour guide dengan penuh kecermatan menjelaskan bahwa hijab bukan sekadar tradisi Arab, melainkan suatu perintah Tuhan yang harus diterapkan.

Seiring dengan berkeliling dan menyaksikan sejarah Muhammadiyah dari masa kolonial hingga menjelang kemerdekaan, para tokoh Buddha dunia semakin terkesan dan kagum dengan gerakan Muhammadiyah. Kunjungan ini tidak hanya menjadi perjalanan melihat sejarah, tetapi juga menggali makna mendalam tentang bagaimana Muhammadiyah terus berupaya menjaga identitas dan prinsip-prinsipnya di tengah berbagai tantangan sejarah yang dihadapi.

Diharapkan, kesan yang diperoleh para tokoh Buddha ini dapat menjadi pendorong bagi lebih banyak dialog dan pemahaman lintas agama untuk mewujudkan perdamaian dan toleransi yang lebih luas di dunia. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini