Perangkap Berhala Duniawi
ilustrasi foto: td.org
UM Surabaya

*) Oleh: Agus Wahyudi

Ali bin al Makmun al-Abbasi (anak Khalifah al-Makmun) tinggal di istana nan megah. Semua kebutuhan dunianya tercukupi. Suatu hari, ia melongok ke arah luar dari balkon istana.

Dia melihat seorang sedang bekerja keras sepanjang hari. Jelang siang, dia berwudlu, lalu salat dua rakaat di pinggiran Sungai Tigris. Saat maghrib tiba, dia pulang kepada keluarganya.

Suatu hari, sang pangeran memanggil orang itu dan menanyakan kondisi sebenarnya. Orang itu mengaku memiliki seorang istri, dua saudara perempuan, dan seorang ibu yang harus ditanggung biaya hidupnya.

Dia tak punya makanan maupun pemasukan, kecuali dari yang ia dapatkan dari pasar. Dia juga berpuasa setiap hari dan berbuka setiap jelang maghrib dari apa yang didapatkan.

Sang pangeran bertanya, “Apakah engkau mengeluhkan apa yang engkau alami ini?”

”Tidak. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,” jawab lelaki itu.

Saat itu juga Pangeran Ali meninggalkan istana, jabatan, dan kekuasaannya. Dia pergi menuruti langkah kakinya.

Dia kemudian menjadi seorang tukang kayu yang bekerja di wilayah Khurasan. Ia memilih pekerjaan itu karena mendapatkan kebahagiaan yang tidak ia dapatkan dalam istana.

***

Kini, seberapa banyak manusia yang mampu meneladani kisah Ali bin al Makmun al-Abbasi?

Sungguh, dunia dan seisinya memang kerap melenakan manusia. Kekayaan, kecantikan, ketampanan, ketercukupan acap kali membuat kita lupa terhadap Sang Pencipta.

Bahkan, banyak hal yang tidak disadari jika kita telah mengindahkan kekuasaan Allah Yang Maha Agung. Yang memberikan semua harapan yang kita dambakan.

Pernahkah Anda tahu cerita seorang pegawai yang rela menggadaikan ketauhidannya lantaran takut pundi-pundi pendapatan dan pekerjaannya hilang?

Pernahkah Anda tahu seorang pemimpin yang rela berbuat jahat terhadap bawahannya lantaran khawatir dipecat oleh pemilik perusahaan?

Pernakah Anda tahu, seorang pemilik perusahaan dengan mudahnya berdusta dan memaksa anak buahnya berbuat serupa karena ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya?

Lantas, jika memang Allah yang menghidupkan dan mematikan, dan yang memberi rezeki, mengapa kita harus takut dan cemas terhadap perlakuan sesama manusia?

”Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar dari) Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan, Allah mempunyai karunia yang besar).” (DS. Ali Imran:173-174).

La ilhaha illahah, tidak ada yang pantas disembah selain Allah. Allah memiliki sifat-sifat uluhiyah yang tidak dimiliki oleh selain-Nya, yakni, sifat-sifat kesempurnaan.

***

Pusaran kehidupan dunia memang kerap membuat mata hati kita terbelenggu. Dunia acap membuat pikiran dipenuhi bayangan-bayangan kekalutan akan masa depan.

Banyak manusia memberhalakan manusia. Manusia yang rela tunduk dan pasrah atas perintah sesama.

Mengikuti semua kemauan manusia, meski harus mendustakan agama. Meski harus mengorbankan keimanannya.

Sementara, banyak perintah Allah sering diabaikan. Kita sering meremehkan pentingnya salat jamaah. Salat tepat waktu.

Bahkan, kita sering menunda salat hingga melewati batas waktunya. Kita hampir tak pernah menyesali. Kita pun cuma berdalih terlilit kesibukan duniawi.

Begitu juga ketika melihat banyak fakir miskin dan anak terlantar, ternyata tak cukup membuat hati kita tergetar menolongnya.

Ratapan dan tangisan mereka mencari sesuap nasi, mendesir bak angin lalu. Hilang tak berbekas. Lewat bak pesan sponsor dalam televisi.

Kita jarang memikirkan bila harta yang kita peroleh harus disisihkan untuk zakat dan bersedekah.

Kita lebih mudah menghabiskan harta kita untuk urusan perut, ketimbang membaginya dengan kaum duafa.

Kita, sesungguhnya, makin dari kesalehan sosial. Komitmen dan perasaan kita pasung rapat-rapat.

Batin yang kosong dari pancaran sinar ilahi. Kita makin rakus memburu dunia, sementara kemuliaan kehidupan sesudah mati kelak kita kesampingkan.

Sungguh, betapa sengsaranya jiwa-jiwa yang kosong nan terkoyak. Hidup hanya pada sebatas soal perut, piring, rumah, bensin, handphone, dan lain-lain.

Betapa banyak manusia yang hidupnya sedari pagi hingga petang hanya memburu rupiah.

Berpuluh-puluh tahun ia jadikan anak-anak mereka hanya sebagai pigura di rumah. Tak ada waktu lagi bercengkerama dengan keluarga.

Pagi, ia berangkat bekerja, sementara sang anak lebih dulu pergi ke sekolah. Dinihari ia datang, sedang anak-anaknya terlelap dengan memeluk bantal dan gulingnya. (*)

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini