Merenungkan Ulang Beberapa Hadis Tentang Puasa
Ilustrasi foto: Getty/iStockphoto/everydayplus
UM Surabaya

Umat Islam perlu merenungkan tentang hadis esensi ibadah puasa di bulan Ramadan. Meski pun hadis-hadis tentang puasa sudah sangat familiar di kalangan masyarakat, namun tetap saja sebagai manusia tidak bisa lepas dari kata “lupa”.

Maka, selayaknya umat Islam merenungkan beberapa hadis Nabi Muhammad saw tentang melaksanakan puasa secara umum dan puasa Ramadan secara khusus.

Hadis yang paling populer tentang hikmah Ramadan tersebut berbunyi: “Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, di antara hikmah puasa Ramadan, pertama, dihapuskannya dosa yang sudah berlalu.

Gagasan ini memicu banyak orang untuk berpikir bahwa masuk Islam itu enak, bisa melakukan dosa sebanyak sebelas bulan, lalu tinggal menunggu bulan Ramadan saja dan melaksanakan ibadah di dalamnya, sehingga dosanya diampuni.

Namun demikian hal itu merupakan suatu kesalahan. Karena ada syarat-syarat tertentu yang harus diketahui.

Salah satunya membaca hadis lain yang mendampingi hadis tersebut, karena di dalam memahami teks-teks, baik teks ayat Alquran maupun hadis yang prinsipnya integralistik. Tidak bisa mengambil kesimpulan dari satu hadis saja.

Ada pun hadis lain yang mendampingi hadis tersebut adalah: “Dari Abu Sa’id Alquran berkata “aku mendengar Rasulullah Saw bersabda; barangsiapa yang puasa Ramadan dan mengenali batas-batasnya, serta menjaga diri dari apa yang tidak pantas dia lakukan, maka diampuni dosa-dosanya yang telah terdahulu”.

Hadis di atas memberikan syarat kepada orang yang berpuasa di bulan Ramadan dan akan diampuni dosanya, yaitu untuk yang bisa menjaga diri dari dosa dan maksiat yang tentu itu tidak pantas untuk dilakukan.

Maka, tidak asal berpuasa saja, lalu dengan bebas melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.

Intinya, puasa itu akan mengampuni dosa yang telah dilakukan apabila seorang hamba bisa menjaga diri terhadap hal-hal yang menimbulkan dosa.

Ini merupakan hikmah yang kedua, yaitu bahwa pahala puasa itu tidak distandarkan minimal 10 dan maksimal 700, tapi sebanyak-banyaknya, sesuai kehendak Allah dan kemurahan-Nya.

Maka dengan itu, puasa merupakan ibadah yang bersifat individual. Pengamalannya tidak dapat dilihat kecuali oleh diri sendiri dan Allah swt. (*)

(Disarikan dari ceramah Prof Syamsul Anwar pada Kultum Tarawih di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, 30 Maret 2023 yang dirilis muhammadiyah.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini