Khazanah Perbedaan Ceruk Pemikiran di Muhammadiyah
Ilustrasi: hr.proxsisgroup.com
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Perbedaan pemikiran di Muhammadiyah itu lazim dan niscaya. Seyogianya kita sikapi dengan dada lapang dan pikiran bening.

Tahun 1922, Kyai Soedjak berdebat hebat dengan kader lain, saat mengajukan proposal pendirian roemah sakit di kalangan priboemi santri.

Tak sedikit kader yang mengundurkan diri dan meletakkan kartu anggota karena tak setuju dengan pendirian roemah sakit yang dianggap tasyabuh.

Kyai Yunus Anis, ketua PP, berselisih dengan Buya Hamka terhadap sikap dengan rezim Soekarno tentang pengangkatan Pak Moljadi Djojosoemarto sebagai Mensos.

Buya Hamka dipenjarakan Soekarno karena dugaan plagiasi novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijck yang viral saat itu.

Muhammadiyah juga terbelah menyikapi pemberian gelar doktor honoris causa pada Soekarno oleh UMJ Jakarta.

Pak AR Fakhruddin, Pak Amien, Buya Syafii, Prof Malik, Prof Din, Pak Haidar juga banyak berbeda.

Pak Busyra, Pak Buya Anwar Abbas sangat berbeda dengan Pak Mukti.

Saya mungkin dekat dengan pemikiran Pak AR Fakhruddin yang kultural-humanis dan Buya Syafii yang moderat-egaliter

Dalam ber-nahy munkar kepada rezim penguasa pun keduanya berbeda jauh

Pak AR dan Pak Amien punya style yang tidak sama

Pak Amien lebih terbuka, dan menyampaikan kritik di depan publik, bikin tulisan, seminar, diskusi atau pernyataan pers bahkan demo turun ke jalan.

Pak AR Fakhrudin menyampaikannya langsung ke hadapan Pak Harto, sarapan bersama atau ngupi di istana dalam tata krama Jawa yang santun dan beradab.

Keduanya baik, tapi saya lebih suka cara Pak AR Fakhruddin. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini