Penyebab Tertutupnya Pintu Taufik
foto: steemit.com
UM Surabaya

*) Oleh: Zainal Arifin,
Anggota Korps Mubalih Muhammadiyah (KMM) Kabupaten Sampang

Taufik. Kata ini berasal dari kata wafaqa yang berarti kesesuaian antara dua hal. Dari sini berkembang maknanya menjadi kesesuaian antara perbuatan manusia dengan takdir Allah SWT.

Dengan demikian, secara sederhana taufik bermakna: “kesesuaian antara keinginan manusia dengan kehendak Allah SWT.”

Contohnya, ada orang memiliki hajat menikahkan putra-putrinya, jika hajat tersebut terlaksana, berarti orang tersebut diberi taufik oleh Allah SWT.

Alquran sendiri menyebut kata taufik sebanyak tiga kali. Salah satunya adalah ketika dua pasangan suami istri sedang berkonflik yang berpotensi berujung perceraian, namun keduanya memiliki keinginan atau kehendak untuk berdamai melalui seorang mediator, maka Allah SWT akan memberikan taufik kepada pasangan suami istri tersebut.

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35) النساء

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. al-Nisa’ [4]: 35)

Contoh ayat lainnya adalah usaha Nabi Syu’aib as yang menginginkan kebaikan umat beliau melalui ikhtiar semaksimal mungkin.

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ (87) قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ (88) هود

Mereka berkata: “Hai Syu’aib, apakah agamamu yang menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.”

Syuaib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku daripada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)?

Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali (Q.S. Hud [11]: 87-88).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini