Memahami Makna Alquran dari Tuhan dan Penafsir
UM Surabaya

Dalam Manhaj Islam Berkemajuan, Alquran dan Sunah menjadi sumber ajaran yang paling utama.

Meski pun Alquran sepenuhnya adalah bersifat ketuhanan, namun ia sepenuhnya juga menggunakan media bahasa manusia.

Alquran yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah dengan tata bahasa Arab di dalamnya ini tentu mengandung banyak makna di dalamnya.

Namun, dari mana datangnya makna Alquran tersebut?

Terdapat dua mazhab dalam menyikapi hal ini. Pertama, makna Alquran datang dari Allah (God given meaning).

Hal ini berangkat dari anggapan bahwa Alquran yang diterima Nabi Muhammad merupakan wahyu dari Allah.

Kedua, makna Alquran yang datang dari penafsir (interpreter given meaning).

Hal ini berangkat dari prinsip hermeneutika modern yang menegaskan bahwa teks yang telah selesai disusun pengarangnya menjadi milik para pembaca (penafsir).

Di dalam konsepsi usul fikih, terdapat tingkatan makna, dari teks yang jelas (al-alfadz al-wadhihah), dan teks yang tidak jelas (al-alfadz ghair al-wadhihah).

Ungkapan-ungkapan dalam Kitab Suci yang mudah dipahami berarti maknanya berasal dari Allah.

Sementara ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami, membuka peluang para penafsir untuk memberi makna pada kata tersebut.

Ayat mutasyabihat, itu hanya Allah yang tahu. Misalnya ungkapan Alif Lam Ra.

Ada beberapa penafsir ingin memberikan makna pada ayat tersebut. Dari sisi ini bisa dikatakan bahwa makna Alquran milik pembaca/penafsir,”

Terdapat empat tingkatan dalam teks yang jelas (al-alfadz al-wadhihah). Pertama, muhkam. Yaitu teks yang sudah jelas maksudnya sehingga tidak ada lagi kemungkinan dinasakh dan ditakwil. Misalnya, QS. Al Ikhlas ayat 1-4 tentang Keesaan Allah Swt.

Kedua, mufassar. Yaitu teks yang jelas dan rinci dan tidak dapat ditakwil, namun ada kemungkinan dinasakh. Contohnya, ayat-ayat atau hadis yang menyebutkan rincian seperti jumlah/angka: 1, 2, 100, dan lain sebagainya.

Ketiga, nash. Yaitu teks yang menunjukkan kepada makna yang menjadi maksud primer, namun ada kemungkinan bisa ditakwil.

Keempat, zahir. Yaitu teks yang menunjuk pada makna sekunder. Misalnya, hadis tentang larangan berbicara bagi jamaah jumat ketika Khatib telah memulai khotbah.

Makna sekunder dari hadis tersebut adalah anjuran agar khatib sekaligus menjadi imam.

Sementara itu, teks yang tidak jelas (al-alfadz ghair al-wadhihah) juga terdapat empat tingkatan.

Pertama, khafi. Yaitu teks yang tidak jelas maknanya karena ada dalil atau petunjuk dari luar, bukan karena faktor shighat lafadz itu sendiri.

Misalnya, ungkapan “pencuri” dalam QS. Al Maidah ayat 38, apakah berlaku juga untuk pencopet atau tidak.

Kedua, musykil. Yaitu teks yang tidak jelas maknanya lantaran diakibatkan redaksi lafadz itu sendiri. Misalnya, ungkapan “al-quru” dalam QS. Al Baqarah ayat 228, bisa bermakna suci atau haid.

Ketiga, mujmal. Yaitu teks yang masih umum, samar, dan global. Misalnya, perintah untuk taat kepada Ulil Amri dalam QS. An Nisa ayat 59.

Teks tersebut masih samar sebab siapa yang dimaksud dengan Ulil Amri tersebut. Inilah mengapa para mufasir berbeda pendapat.

Keempat, mutasyahibat. Yaitu redaksi yang timbul tidak punya makna lain kecuali makna itu sendiri. Misalnya, huruf-huruf yang terpotong dalam awal ayat dan surat seperti Thaha, Nun, dan lain-lain.

Kesimpulannya, rumpun al-alfadz al-wadhihah merupakan makna yang jelas yang telah diberikan Allah.

Sementara rumpun al-alfadz ghair al-wadhihah—meskipun hanya Allah yang tahu makna aslinya—para penafsir diberikan peluang untuk memberi makna pada teks-teks tersebut. (*)

(Disarikan dari ceramah Prof Syamsul Anwar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang dirilis muhammadiyah.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini