Melacak Hubungan Pendiri Muhammadiyah dan NU (Bagian 2)
UM Surabaya

Sepulang dari Mekah, KH Ahmad Dahlan beliau menikah dengan Siti Walidah, yakni saudari sepupunya sendiri, anak Kiai Penghulu Haji Fadhil.

Kelak, Siti Walidah dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, seorang pahlawan nasional dan pendiri Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah).

Tahun 1912, KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk mewujudkan cita-cita pembaruan Islam di Nusantara.

Benih pembaruan mulai digelorakan KH Ahmad Dahlan di tanah air. Beliau ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam yang benar.

Beliau mengajak umat Islam Indonesia kembali hidup menurut tuntunan Alquran dan Sunah.

Beliau memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (aqidah), ibadah, muamalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam.

Dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli, yakni Alquran dan Sunah Nabi yang sahih dan membuka pintu ijtihad.

Inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam berkemajuan dalam gerakan dakwah Muhammadiyah.

Baca juga: Melacak Hubungan Pendiri Muhammadiyah dan NU (Bagian 1)

Gagasan pendirian Muhammadiyah ini sempat mendapatkan pertentangan dan perlawanan, baik dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya.

Bahkan, ada pula orang yang hendak membunuh beliau. Namun rintangan itu dihadapinya dengan sabar.

Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua tantangan tersebut.

***

Pada 20 Desember 1912, KH Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar organisasinya mendapatkan status badan hukum.

Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914 melalui Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914.

Namun, izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi hanya boleh bergerak di Yogyakarta karena khawatir mengancam keberadaan penjajah.

Meski begitu, di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri telah berdiri cabang Muhammadiyah.

Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan penjajah. Untuk menyiasatinya, KH. Ahmad Dahlan menganjurkan agar cabang-cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah.

Baca juga: Lahirnya Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia yang Wajib Diketahui

Ada pun di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF). Tercatat selama hidupnya dalam aktivitas dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan 12 kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), di mana pada saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (rapat umum).

Ada yang menarik, Muhammadiyah tercatat sebagai organisasi pertama memelopori memakai bahasa Indonesia dalam kongresnya tahun 1923, jauh sebelum Sumpah Pemuda digelar tahun 1928.

Tak hanya bergerak di dunia pendidikan, sosial, dan keagamaan, di era penjajahan Belanda kala itu, Muhammadiyah juga mendirikan gerakan kepanduan Hizbul Wathan (HW), artinya Pembela Tanah Air, tahun 1918 M.

Salah satu alumninya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sejumlah kader Muhammadiyah yang juga akhirnya ikut aktif merebut dan mengisi kemerdekaan di antaranya adalah Ki Bagus Hadikusumo, anggota BPUPKI dan PPKI yang ikut aktif merumuskan dasar-dasar NKRI.

Kader Muhammadiyah lain yang memberi peran yang sangat menentukan dalam perumusan UUD 1945 dan mengukuhkan dasar negara Pancasila di antaranya adalah Abdul Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo.

Bahkan, dikutip dari buku K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) terbitan Museum Kebangkitan Nasional (2015), Soekarno, Presiden RI pertama menjadi calon anggota Muhammadiyah cabang Bengkulu pada 1 Juni 1938 dan jadi anggota secara definitif sejak 1 Agustus 1938.

Kiprah KH Ahmad Dahlan dalam membesarkan Muhammadiyah tidak lama. Ini setelah beliau yang sudah dalam kondisi sakit tetapi tetap memaksakan diri menghadiri rapat tahunan Muhammadiyah tahun 1923 di Malang, kondisi sakit beliau tambah parah.

Di tengah perjuangannya memikirkan kondisi umat, Allah Swt memanggilnya pada hari Jumat 23 Februari 1923 di Yogyakarta, di usia yang masih relatif muda, yakni 54 tahun.

Beliau lalu dimakamkan di Karang Kuncen (Karangkajen), Yogyakarta. Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan, pemerintah menganugerahi beliau gelar sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, pada 27 Desember 1961. (*)

Penulis: ROUDLON FAUZANI M.Pd, jurnalis senior dan pemerhati sejarah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini