Agama Bi Al Riwayah Bukan Bi Al-‘Aql, Bagaimana Posisi Muhammadiyah?

Agama Bi Al Riwayah Bukan Bi Al-‘Aql, Bagaimana Posisi Muhammadiyah?

*) Oleh: Bukhori at-Tunisi
Alumni Ponpes YTP Kertosono, penulis buku Teologi Ibn Taimiyah

“Qaddimu al-riwayah ‘ala al-dirayah”
(Mbah Yai Maimoen Zubair [R. Gus Baha’])

“Agama itu bi al riwayah bukan bi al-‘aql”, (Agama berdasarkan riwayat, bukan berdasar pemikiran). Pernyataan tersebut sering dikemukakan KH. Bahauddin Nur Salim (Gus Baha’), yang mentasyrih ayat-ayat yang menjelaskan tentang prinsip bahwa beragama (ibadah mahdlah) harus bersumber pada wahyu (Al-Qur’an dan hadis) dan bukan pada “ta’aqquliyah”, hasil penalaran logika manusia.

Ini karena “agama” sifatnya “khas” (tertentu, define), mutlak, batasnya jelas, baik tempat maupun waktunya, sehingga tidak menerima “tambahan” hal-hal yang baru, baik tempat maupun waktu, yang diproduksi dari hasil penalaran logis, rasionalisasi, ta’aqquli, atau falsafi.

“Agama”, bersifat “pasif” (tawaqquf, dari kata “waqf”), “berhenti”, tidak bergerak, tidak menerima kreatifitas, tidak aktif untuk menciptakan kreasi baru, atau menggunakan pemikiran ta’aqquliyah untuk membuat yang baru. Dalam bahasa Imam al-Syafii, “La qiyasa fi al-din”, tidak ada qiyas dalam “agama”.

Beragama (dalam artian “terbatas”) bersifat “akhbari” (berdasarkan pada berita langit), bukan kontemplasi “ta’abbudiyah” manusia, meminjam istilah saudara kita Syi’ah, tidak mendasarkan pada pemikiran radikal (ushuli) kritis-filosofis, namun hanya bersumber dari wahyu Allah.

Inilah makna dari firman Allah QS. Al-Maidah [5]: 3, “ Hari ini Aku sempurnakan Agama-Ku untuk kamu, dan Aku sempurnakan ni’matKu untuk kamu, dan aku ridla Islam sebagai agamamu”.

Juga sabda Nabi, “Setiap amalan yang tidak ada perintah Kami (Allah dan Rasul), tertolak.” Otoritas keshalihan seseorang, tidak membuka wewenang untuk menambah ibadah, misalnya menambah salat maghrib 4 rakaat, subuh 3 rakaat, puasa “wishal” (terus menerus) yang asalnya dilarang lalu menjadi mubah, puasa Ramadan menjadi 40 hari, “Poso Mutih” boleh, dan seterusnya.

Imam Syafii ngendiko, “La qiyasa fi al-din” (Urusan agama [ibadah mahdlah tidak menerima qiyas [penalaran]), adalah dalam batasan konsep ini. Kata “agama” dengan tanda kutip ([“”] dari kata Arab: قطف), tidak diberi pengertian “agama“ dalam arti luas, umum (ta’rif: ‘urf), namun dalam arti terbatas (al-hadd), yaitu “agama” dalam arti “ibadah mahdlah” (عبادة محضة), ibadah yang ketentuan jumlah, tempat, dan waktunya, sudah ditentukan batasannya, bukan ghairu mahdlah.

Jadi, agama bukan dalam makna Agama Islam dalam makna umum, yang mengandung dan mencakup urusan ibadah dan muamalah, urusan ubudiyah dan dunyawiyah; namun dalam pengertian terbatas, sebagaimana dimaksud dalam alenia (faqrah) ini.

Baru-baru ini, ada usulan untuk memindah [menambah] waktu ibadah haji dari bulan Dzul Hijjah ke bulan yang lain, bukan dibatasi hanya pada bulan Zulhijjah, namun haji boleh dilaksakan dalam bulan-bulan yang lain, untuk menjaga mashlahah ‘ammah, karena dalam pelaksaan haji, sering terjadi mushibah, yang menyebabkan banyak yang meninggal, akibat berdesak-desakan (miqat makani), karena jumlah jamaah haji yang membludak dalam waktu yang bersamaan (miqat zamani).

Usulan tersebut bagian dari tawaran solutif ijtihadiyah atas problem pelaksanaan ubudiyah [mahdlah] haji. Usulan Ini namanya ta’aqquli atau penggunaan akal, bi al-‘aql dalam urusan ibadah mahdlah. Usulan tersebut biasa dalam pola fikir kalangan Nahdliyin, sebagaimana dinyatakan oleh Kang Jalaluddin Rakhmat, karena bagi ulama’ Nahdliyin, “Ijtihad tidak terbatas dalam urusan mu’amalah saja, dalam urusan ubudiyah, menerima adanya ijtihad.”

Ini berbeda dengan Muhammadiyah, yang membatasi ijtihad hanya dalam ruang lingkup muamalah-dunyawiyah saja, tidak dalam urusan ibadah.” [Dua pola ini, sahabat pun mencontohkan 2 pola manhaj tersebut. Dalam kasus adzan Jum’at 2 kali pada zaman Utsman ibn Affan yang “menyelisihi” azan Jumat zaman Nabi yang hanya 1 kali. Utsman mengerjakan 2 kali, artinya: Utsman meng-create ibadah tambahan azan menjadi 2 kali.

Sebut ini madzhab tahditsi (membuat ibadah baru). Ibn Umar, sebagai salah satu sahabat yang alim, menanggapi perbuatan Utsman sebagai bid’ah (membuat ibadah baru). Sebut Ibn Umar sebagai mazhab taqdisi (pemurnian). Jadi, secara geneologis, kedua madzhab tersebut punya sandaran (marja’) epistemologis dari madzhab Shahabi. Mau ikut mana?

Bagi yang gembar-gembor ikut Salaf al-Shalih (verbatim), kedua manhaj fiqih tersebut, ternyata dua-duanya dipraktikkan oleh salaf shalih. Jadi rasionalnnya, bukan emosionalnya, jangan menyalahkan jika kaum mutaakhirin, mengikuti jejak model contoh pola fiqih dari 2 sahabat Nabi tersebut. Kecuali memang ikut salah satu dari model pola tersebut, madzhab Utsmani atau madzhab Ibn Umari. Karena dalam salah satu “kasus”, ulama’ pendukung “Salaf al-Shalih”, mentolelir jumlah rakaat shalat lail, tahajjud, tarawih, lebih dari 11/13, argumennya, karena dipraktikkan sahabat Nabi.]

Bahwa beragama harus berdasarkan riwayat, bukan aqliyah, bisa diambil contoh amaliah ubudiyah mahdlah yang lagi masif, misalnya: Salat lail dilakukan secara berjamaah di luar Ramadan, juga salat sunah, salat nafilah, yang hampir selalu dikerjakan di Masjid atau musala.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *