Agustus Kelam: Darah dan Air Mata di Balik Kemegahan Kursi Kekuasaan

Agustus Kelam: Darah dan Air Mata di Balik Kemegahan Kursi Kekuasaan
*) Oleh : Nashrul Mu'minin
 Content writer Yogyakarta
www.majelistabligh.id -

Agustus seharusnya menjadi bulan yang penuh makna bagi bangsa Indonesia, bulan di mana kita merayakan kemerdekaan dan mengenang jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk negara ini. Namun, di tengah euforia kemerdekaan, muncul polemik yang menyayat hati: rencana kenaikan tunjangan anggota DPR yang itu dinilai tidak sensitif terhadap kondisi rakyat.

Di saat sebagian besar masyarakat masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok, wakil rakyat justru sibuk memperkaya diri sendiri. Ini bukan hanya masalah kebijakan finansial, tetapi juga ujian terhadap moral dan integritas para pemimpin bangsa.

Peningkatan tunjangan DPR terjadi dalam situasi dimana ekonomi nasional masih belum pulih sepenuhnya. Inflasi masih tinggi, pengangguran masih menjadi momok, dan kesenjangan sosial semakin melebar. Rakyat kecil setiap hari harus berhadapan dengan kenaikan harga sembako, biaya pendidikan, dan layanan kesehatan yang semakin mahal.

Sementara itu, para wakil rakyat justru menikmati fasilitas mewah dan tunjangan yang jumlahnya bisa mencukupi kebutuhan puluhan keluarga. Ironi ini bagai menggores luka lama yang belum sembuh, mengingatkan kita bahwa semangat perjuangan kemerdekaan telah ternoda oleh keserakahan.

Polemik ini juga menunjukkan adanya jurang komunikasi yang dalam antara pemerintah dan rakyat. Alih-alih mendengarkan keluhan masyarakat, para elit justru membuat keputusan yang terkesan tertutup dan tidak partisipatif. Rakyat merasa tidak dihargai dan diabaikan, sementara para wakilnya sibuk dengan urusan pribadi dan kelompok. Komunikasi politik yang seharusnya menjadi jembatan antara pemerintah dan rakyat, justru berubah menjadi monolog kekuasaan yang arogan.

Jika kita menengok sejarah, para pendiri bangsa ini berjuang tanpa pamrih. Mereka rela meninggalkan kemewahan dan kenyamanan demi memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan rakyat. Namun, semangat itu kini seakan memudar. Yang kita lihat adalah politisi yang lebih mementingkan kursi kekuasaan daripada amanah rakyat.Tunjangan yang besar tidak serta merta membuat kinerja mereka menjadi lebih baik, justru seringkali menjadi bumerang yang memicu ketidakpercayaan publik.

Penting untuk diingat bahwa tunjangan yang diterima oleh anggota DPR berasal dari uang rakyat. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan, atau memperbaiki layanan kesehatan, justru dialihkan untuk memenuhi hasrat duniawi segelintir orang.

Masyarakat kini semakin kritis dan melek informasi. Mereka tidak mudah lagi dibuai oleh janji-janji manis tanpa bukti. Polemik tunjangan DPR ini memantik kemarahan dan kekecewaan yang bisa berujung pada gelombang protes yang lebih besar. Jika tidak ditangani dengan bijak, hal ini bisa memicu krisis legitimasi yang berbahaya bagi stabilitas nasional. Para politisi harus menyadari bahwa kekuasaan yang mereka miliki adalah amanah, bukan hak mutlak.

Solusi yang ditawarkan bukanlah dengan menghapus tunjangan secara keseluruhan, tetapi menyesuaikannya dengan kondisi ekonomi dan kinerja yang nyata. Sistem remunerasi harus transparan dan accountable, serta diiringi dengan evaluasi kinerja yang ketat. Anggota DPR yang tidak bekerja untuk rakyat tidak layak mendapatkan imbalan yang besar. Selain itu, partisipasi publik dalam pengambilan keputusan semacam ini harus ditingkatkan, agar kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat.

Menurut saya, polemik tunjangan DPR ini adalah cerminan dari penyakit kronis yang melanda sistem politik kita: yaitu menjauhnya elit dari realitas kehidupan rakyat. Solusinya tidak hanya dengan revisi kebijakan, tetapi juga dengan perubahan mindset para politisi. Mereka harus kembali ke khittahnya sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang hanya mementingkan diri sendiri. Hanya dengan demikian, Agustus tidak lagi menjadi bulan kelam yang penuh darah dan air mata, tetapi kembali menjadi simbol perjuangan dan harapan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Search