Arogansi Kekuasaan dan Gugurnya Amanah: Cermin dari Tafsir Buya Hamka

Arogansi Kekuasaan dan Gugurnya Amanah: Cermin dari Tafsir Buya Hamka
*) Oleh : Chandra Aditya
Ketua BEM STITM Kediri 2025-2026/ Dai Muda Muhammadiyah Kota Kediri
www.majelistabligh.id -

Lagi dan lagi kita disuguhkan dengan moral pejabat yang arogan, merasa memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur jalannya republik ini. Ditambah dengan pengesahan revisi KUHAP menjadi undang-undang yang justru menjadikan hukum sebagai perisai bagi mereka yang berkuasa—bukan pelindung rakyat yang seharusnya dibela.

Sungguh ironis. Kita hanya bisa menahan amarah dan mengelus dada melihat kondisi negeri hari ini, ketika para pejabat dan pemangku kebijakan menggunakan kuasa untuk membungkam, merampas, dan menjauhkan hukum dari keadilan.

Di tengah situasi seperti ini, teringat pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar ketika menafsirkan ayat pertama Surah Al-Mulk. Allah berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ
Maha Suci Dia yang di Tangan-Nya segala kekuasaan…”

Buya Hamka menegaskan bahwa betapapun manusia berusaha mempertahankan kekuasaan atau kerajaannya, semuanya tidak akan pernah abadi. Kekuasaan sejati hanya ada dalam genggaman Allah Yang Maha Perkasa. Lalu beliau mengutip sejarah: Belanda yang menjajah Nusantara selama lebih dari tiga abad hanya mampu bertahan tujuh hari ketika tentara Jepang datang menyerang. Setelah itu mereka menyerah tanpa syarat. Itulah kebesaran Allah. Dialah yang mencabut dan memberikan kejayaan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Seharusnya para pejabat dan pemangku kebijakan menyadari bahwa kekuasaan yang mereka pegang itu terbatas, tidak mutlak, dan kapan saja bisa dicabut kembali oleh Tuhan. Namun kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Hari demi hari, keadaan tidak semakin membaik. Wajah kekuasaan justru semakin jauh dari akhlak. Mereka seolah tidak mau merenungi kembali pelajaran sejarah yang jelas-jelas menunjukkan bahwa arogansi kekuasaan selalu berujung pada keruntuhan.

Munculnya demonstrasi besar-besaran, bahkan sampai terjadi tindakan anarkis dan pembakaran di berbagai daerah, bukan terjadi begitu saja. Itu adalah bentuk pelampiasan kekesalan rakyat yang sudah lama menahan sabar akibat perilaku dan kebijakan penguasa. Tetapi para pejabat tetap berjalan dengan dada membusung, seolah rakyat tidak pernah berbicara. Seolah jeritan mereka hanya angin lalu yang tidak layak didengar.

Padahal, jika saja mereka mau berhenti sejenak untuk berpikir, sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa kekuasaan yang zalim selalu menuju pada kehancurannya sendiri. Undang-undang yang dipelintir untuk melindungi kekuasaan, kebijakan yang dibuat tanpa mendengar suara rakyat, dan arogansi pejabat hanya mempercepat proses runtuhnya wibawa mereka. Ketika amanah dikhianati, yang pertama runtuh bukanlah bangunan pemerintahan—melainkan kehormatan mereka sebagai pemimpin. Dan ketika kehormatan itu hilang, kedudukan tinggal menunggu waktu untuk ikut ambruk.

Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menjelaskan bahwa kebesaran Allah dalam ayat pertama Surah Al-Mulk ini adalah hiburan bagi orang-orang beriman yang sedang berada di bawah tekanan kekuasaan zalim. Seolah Allah ingin mengatakan: janganlah kalian berputus asa. Kekuasaan yang menindas tidak akan pernah kekal. Ia hanya menunggu waktu untuk tumbang, sebagaimana kekuasaan-kekuasaan besar sepanjang sejarah—yang meski tampak kokoh, akhirnya roboh juga karena kedzaliman yang mereka lakukan.

Di sinilah ayat “بِيَدِهِ الْمُلْكُ” menjadi deklarasi yang mengguncang logika kekuasaan manusia. Bahwa secanggih apa pun mereka mengatur strategi politik, memperkuat jaringan kekuasaan, atau merancang undang-undang untuk mempertahankan dominasi, semuanya tidak akan pernah melampaui kehendak Tuhan. Kekuasaan manusia itu bukan milik mereka; ia hanya titipan yang bisa diambil kapan saja.

Di sisi lain, ayat ini memberikan ketenangan bagi rakyat yang merasa suaranya tidak lagi dianggap. Bahwa ketidakadilan ini, seberat apa pun rasanya, tidak akan berlangsung selamanya. Tidak ada kekuasaan zalim yang berhasil bertahan dari cengkeraman waktu. Rezim paling kuat sekalipun akhirnya ditumbangkan oleh dua hal: kedzaliman mereka sendiri dan kehendak Tuhan yang mengizinkan kejatuhan itu terjadi.

Maka, rakyat perlu terus menyuarakan kebenaran dengan cara yang bermartabat, tanpa kehilangan harapan. Sebab ketika kekuasaan tidak lagi mendengar, sejarah dan ayat-ayat Tuhan akan berbicara menggantikannya. Dan ketika keduanya sudah berbicara, tidak ada kekuatan manusia yang sanggup membungkamnya.

Akhirnya, pesan Surah Al-Mulk ayat pertama adalah bahwa kekuasaan hanyalah titipan. Semuanya akan diminta pertanggungjawaban. Mereka yang menindas akan menuai akibatnya. Mereka yang menjaga amanah akan mendapatkan kemuliaannya. Dan rakyat yang bersabar akan melihat bagaimana Tuhan membalikkan keadaan pada waktu yang paling tepat.

Kekuasaan itu sementara, tapi pertanggungjawabannya kekal.

 

 

Tinggalkan Balasan

Search