Belajar Makna Sukses dari Perjalanan Hidup Mbah Juwito

Belajar Makna Sukses dari Perjalanan Hidup Mbah Juwito
www.majelistabligh.id -

Suasana Akademi Mubaligh Muhammadiyah (AMM) yang digelar Majelis Tabligh PW Muhammadiyah Jawa Timur, Ahad (14/12/2025), terasa tidak biasa. Usai salat Subuh, peserta tidak disuguhi paparan teori dakwah atau strategi komunikasi seperti hari-hari sebelumnya. Pagi itu, mereka diajak menimba pelajaran langsung dari perjalanan hidup seorang aktivis Muhammadiyah kultural yang sederhana, Mbah Juwito.

Bukan konsep dakwah yang ia jabarkan, melainkan kisah hidup yang ditempa oleh kerja keras, kejujuran, dan kuatnya relasi antarmanusia. Dengan bahasa yang lugas dan membumi, Mbah Juwito mengajak para peserta menelusuri jejak langkah hidupnya sejak dari desa.

Amal kebaikan menjadi “jalur hidupnya” khususnya di dunia pendidikan. Mbah Juwito dua tahun lalu telah mewakafkan tanah sekitar 1,3 hektar. Tidak hanya itu, di atas tanah tersebut juga telah berdiri Muhammadiyah Boarding School 2 Tulungagung,  yang ditempati kegiatan AMM, di Lokasi Jl. Mayor Sujadi, Gang Noyobongso, Jepun, Tulungagung. Sekolah dengan konsep modern tersebut dibangun dengan berbagai fasilitas. Tidak hanya ruang kelas, tetapi juga ada masjid yang sangat besar, joglo, kebun, dan juga peternakan. Perpaduan sekolah di kelas dan sekolah alam.

Ia mengawali ceritanya dengan pengakuan jujur tentang keterbatasan hidup. “Kalau di desa, saya jual otak saya,” tuturnya, sebuah ungkapan yang menggambarkan bahwa modal utama hidup bukanlah harta, melainkan pikiran dan kemauan.

Lahir pada 17 Agustus 1952, Mbah Juwito mengisahkan masa mudanya ketika sepeda motor masih menjadi barang langka, termasuk bagi dirinya. Meski demikian, keterbatasan tidak pernah memadamkan semangatnya untuk maju. Selepas menamatkan pendidikan di STM, ia merantau ke Surabaya hanya berbekal keberanian. Tidak ada sanak saudara, apalagi kenalan, yang menjadi tujuan.

Baginya, logikanya sederhana. Kota besar identik dengan peluang. “Banyak orang, banyak rezeki, banyak peluang,” ujarnya penuh keyakinan.

Di Surabaya, ia menjalani beragam pekerjaan demi menyambung hidup. Pernah berjualan kelapa, menjadi penjual koran, hingga berjalan kaki puluhan kilometer dari pagi sampai sore untuk menjajakan seratus eksemplar koran yang ia beli sendiri.

Salah satu fase penting dalam hidupnya bermula dari pertemuan tak terduga dengan seorang polisi bernama Sahlan. Percakapan ringan tentang asal daerah—Kali Dawir dan Balang, Tulungagung—ternyata menjadi pintu pembuka rezeki dan penguat langkahnya di kota besar.

Dari pertemuan itu, Mbah Juwito belajar bahwa relasi dan pertemanan sering kali menjadi jalan rezeki yang tak terduga. Berkat kenalannya dengan Pak Polisi Sahlan, ia mendapatkan tempat untuk tidur, makan, serta pekerjaan sebagai penjaga warung makan. “Ya, kerja apa saja, mulai bersih-bersih warung, korah-korah (mencuci piring),” kenangnya.

Dalam kisah hidupnya, Mbah Juwito berulang kali menekankan pentingnya komunikasi. Di masa lalu, komunikasi dilakukan melalui telegram yang serba terbatas, namun tetap menjadi penghubung harapan. Dari situlah ia memetik pitutur hidup: manusia harus sehat, jujur, dan bahagia. Setiap amanah mesti dijalankan dengan sungguh-sungguh, dan waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Kini, Mbah Juwito mengelola usaha toko bangunan dan kos-kosan. Meski tidak dikaruniai keturunan secara biologis, ia merasa hidupnya penuh berkah. Banyak “anak” hadir dalam wujud murid dan anak didik yang berhasil menapaki berbagai bidang kehidupan.

Di hadapan para calon mubaligh Muhammadiyah, Mbah Juwito kembali menegaskan bahwa kunci kesuksesan terletak pada relasi dan komunikasi. Prinsip itu bukan sekadar teori, melainkan telah ia praktikkan sepanjang hidup, termasuk dalam membangun hubungan lintas organisasi dan lintas umat beragama. Meski dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, ia tidak ragu bekerja sama dengan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dalam mendirikan sekolah di Tulungagung.

“Memikirkan umat tidak bisa sendiri. Perlu komunikasi, karena dari situlah jembatan kebaikan dan kebermanfaatan dibangun,” pesannya.

Dalam sesi tanya jawab, Mbah Juwito kembali menegaskan pentingnya memiliki relasi dan banyak teman. Yang menarik dari perbincangan selepas salat Subuh itu adalah konsistensinya dalam berdakwah melalui jalur pendidikan.

Ia dengan sadar memilih pendidikan sebagai ladang dakwahnya. Sejumlah sekolah berdiri berkat inisiatif pria sederhana asal Kalidawir, Tulungagung tersebut.

“Selama saya mau bergerak untuk dakwah di pendidikan, orang selalu bilang wah Mbah Juwito orang Muhammadiyah, padahal apa susahnya saya ambil (ajak Kerjasama), guru-guru dari pondok (NU),” jelasnya.

Dari kisah hidupnya, para peserta AMM tidak hanya belajar tentang dakwah, tetapi juga tentang ketulusan, kerja keras, dan seni membangun relasi demi kemaslahatan umat. (abdul wahab)

Tinggalkan Balasan

Search