Perkembangan teknologi digital telah mengubah wajah dakwah Islam secara mendasar. Dakwah kini tidak lagi terbatas pada mimbar masjid dan podium pengajian, tetapi juga meluas ke layar gawai, media sosial, dan ruang virtual. Generasi milenial dan Gen Z menjadi audiens utama dakwah era ini — generasi yang akrab dengan scroll, share, dan streaming.
Namun di tengah globalisasi digital ini, penting bagi dakwah untuk tidak kehilangan “akar lokalitas”, yakni nilai, budaya, dan kebijaksanaan yang hidup dalam masyarakat tempat ia tumbuh. Inilah tantangan sekaligus peluang dakwah milenium di era digital.
Dakwah Digital Estetik: Tantangan dan Peluang
Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk berdakwah dengan cara yang bijaksana dan menyentuh hati. Allah berfirman:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik…” (QS. An-Nahl [16]: 125).
Ayat ini, menurut tafsir Ibnu Asyur dalam At-Tahrir wa at-Tanwir, menegaskan bahwa dakwah tidak cukup dengan penyampaian materi, tetapi membutuhkan hikmah — kecerdasan kontekstual yang menyesuaikan metode dakwah dengan kondisi masyarakat.
Dalam konteks digital, hikmah berarti kemampuan memahami budaya digital, bahasa media, dan pola pikir masyarakat daring (online society). Dakwah tidak bisa hanya “menyampaikan kebenaran”, tetapi harus mampu “mengomunikasikan kebenaran” dengan cara yang menyentuh, dialogis, dan estetik.
Era digital membuka peluang besar: pesan Islam dapat tersebar secara global dalam hitungan detik. Namun sekaligus menghadirkan tantangan serius — banjir informasi, hoaks keagamaan, dan budaya instan yang membuat substansi spiritual mudah tereduksi menjadi sekadar tren. Di sinilah pentingnya etika digital dakwah yang berlandaskan nilai kejujuran (ṣidq), amanah, dan tabligh. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menunjukkan dakwah bersifat universal dan terbuka. Siapa pun yang memahami kebenaran Islam, berhak dan berkewajiban menyampaikannya. Namun, dalam tafsir kontekstual Ibnu Asyur, “tabligh” tidak hanya berarti menyampaikan, tetapi juga memastikan pesan sampai dengan benar dan tepat sasaran. Maka, dakwah digital memerlukan literasi media, etika komunikasi, dan kepekaan budaya agar pesan Islam tidak disalahpahami atau disalahgunakan.
Menghidupkan Lokalitas sebagai Jiwa Dakwah
Globalisasi sering menimbulkan homogenisasi budaya, seolah nilai-nilai lokal kehilangan relevansinya. Padahal, kekuatan dakwah Muhammadiyah sejak awal berdirinya justru terletak pada kemampuannya mengintegrasikan nilai-nilai Islam universal dengan kearifan lokal. Di era digital, semangat itu perlu dihidupkan kembali dalam bentuk baru: lokalisasi pesan digital.
Lokalitas di sini bukan berarti kejumudan atau keterkungkungan, tetapi kemampuan membumikan Islam dengan bahasa, simbol, dan konteks yang dekat dengan masyarakat. Sebagaimana Rasulullah ﷺ berdakwah di Makkah dan Madinah dengan memahami tradisi Arab kala itu, demikian pula dakwah milenium perlu memahami “adat digital” dan budaya lokal masyarakat Indonesia — mulai dari bahasa, estetika, hingga humor khas netizen Nusantara.
Ibnu Asyur menjelaskan dalam tafsirnya bahwa risalah Islam bersifat ṣāliḥun li kulli zamān wa makān — relevan di setiap waktu dan tempat — karena ia membawa prinsip universal yang dapat beradaptasi dengan berbagai kebudayaan. Maka, penggunaan media lokal, konten kreatif dengan nuansa daerah, hingga pemanfaatan tokoh budaya setempat dalam dakwah digital merupakan bagian dari hikmah dakwah yang diperintahkan Al-Qur’an.
Dakwah sebagai Gerakan Kultural dan Intelektual Estetik
Bagi Muhammadiyah, dakwah bukan hanya ceramah atau khutbah, tetapi gerakan kultural dan intelektual untuk memajukan umat. Dakwah digital berbasis lokalitas berarti mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan kecerdasan sosial dan teknologi. Seorang dai milenium harus menguasai content creation, memahami algoritma media sosial, sekaligus menjaga keotentikan pesan tauhid.
Dalam hal ini, pendekatan cultural dakwah dapat memanfaatkan seni, film pendek, musik religi, desain grafis, dan podcast sebagai medium dakwah. Rasulullah ﷺ sendiri pernah memuji penyair Hassan bin Tsabit yang menggunakan syair untuk membela Islam — sebuah bukti bahwa seni dan budaya adalah bagian dari dakwah jika diarahkan pada kebaikan.
Dakwah digital berbasis lokalitas juga menumbuhkan empati dan kebersamaan. Ia tidak memisahkan agama dari realitas sosial, tetapi menghidupkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari — dalam solidaritas sosial, kepedulian lingkungan, dan etika bermedia. Sebagaimana firman Allah:
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat ini menurut Ibnu Asyur menegaskan bahwa keberagaman adalah sunnatullah, dan dakwah sejati adalah yang memupuk saling pengertian antar manusia, bukan menegaskan perbedaan untuk saling menjatuhkan.
Hakikat Dakwah yang Menyapa, Bukan Menggurui
Dakwah milenium di era digital menuntut paradigma baru — dari dakwah yang menggurui menjadi dakwah yang menyapa, dari monolog ke dialog, dari ceramah ke percakapan interaktif. Ia memerlukan dai yang digital savvy sekaligus spiritually grounded, yang mampu menyampaikan Islam dengan estetika lokal dan semangat global.
Dengan menjadikan lokalitas sebagai akar dan digitalisasi sebagai sayap, dakwah Muhammadiyah akan terus relevan di setiap zaman. Sebagaimana pesan Ibnu Asyur, “Islam adalah cahaya yang tidak akan padam oleh pergantian masa, selama umatnya mampu menyalakan lentera akal dan hati.” (*)
