Dari KIM ke-6 UMM, Tegaskan Pentingnya Bangun Gerakan Kolektif Menyelamatkan Hutan

Dari KIM ke-6 UMM, Tegaskan Pentingnya Bangun Gerakan Kolektif Menyelamatkan Hutan
www.majelistabligh.id -

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) kembali menggelar Kajian Islam Multidisipliner (KIM) edisi ke-6 pada Selasa (23/12/2025). Mengusung tema “Ikhtiar Islam Berkemajuan Melestarikan Lingkungan”, forum ini berlangsung di Auditorium Masjid AR. Fachruddin lantai 2 dan menghadirkan diskusi kritis seputar isu lingkungan hidup, termasuk praktik pengelolaan pertambangan yang dikelola oleh lembaga Muhammadiyah.

Kegiatan ini dibuka langsung oleh Kepala Biro Riset, Penelitian, dan Kerja Sama UMM, Dr. Salahudin, S.IP., M.Si., M.P.A. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner serta keberanian untuk melakukan kritik internal dalam mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

“Islam Berkemajuan harus tampil bukan hanya dalam wacana, tetapi dalam praktik nyata yang beretika, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam,” ujarnya.

Salahudin juga menyoroti kondisi kerusakan hutan di Indonesia yang semakin memprihatinkan.

“Kerusakan hutan di Indonesia cukup memprihatinkan, kejadian di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat) merupakan sebagian kecil yang bisa kita lihat dampaknya. Di daerah Bima kerusakan hutan sangat parah, hampir 80% sudah terlihat lagi pohon-pohon yang tumbuh dan digantikan oleh tanaman jagung,” tegasnya.

Diskusi dipandu oleh Ketua Pusat Studi Islam Berkemajuan (PSIB) UMM, Prof. Gonda Yumitro, Ph.D. Ia berharap kajian ini mampu mendorong gerakan kolektif dalam merawat hutan yang telah mengalami kerusakan.

“Sejak tahun 2000 sebanyak 9 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hal ini disebabkan adanya pembukaan untuk perkebunan dan pertambangan, data tersebut mengingatkan kepada kita bahwa perlu adanya gerakan kolektif untuk merawat hutan,” ujarnya.

Gonda juga menegaskan amanah manusia sebagai khalifah di bumi. “Dalam al-Qur’an Allah telah menegaskan bahwa ia menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini menegaskan kepada kita bahwa manusia memiliki amanah untuk mengelola dan menjaga keseimbangan alam, bukan sebaliknya,” paparnya.

Sebagai narasumber, Prof. Dr. Ir. Joko Triwanto, MP., IPU, pakar budidaya hutan UMM, menekankan perlunya tanggung jawab pemerintah dan pelaku usaha dalam pengelolaan hutan.

Memanfaatkan hutan untuk kepentingan ekonomi sah-sah saja, akan tetapi harus sesuai dengan aturan. Jangan semua pohon di tebang demi kepentingan ekonomi semata,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa berbagai bencana ekologis harus menjadi peringatan serius bagi bangsa. Menurutnya, pemerintah Prabowo dan pengusaha harus melihat bencana yang terjadi di Sumatera dan Aceh sebagai alarm bagi pemerintah, bukan malah terus menggaungkan penanaman sawit, karena sawit dan pohon sangat berbeda.

“Pohon bisa menahan terjadinya erosi dan juga bisa menjaga sumber mata air. Inilah pentingnya Pemerintah dan Pengusaha tidak hanya memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi semata, akan tetapi harus dilihat juga lingkungan sekitarnya,” tegasnya.

Sementara itu, sosiolog lingkungan Rachmad K. Dwi Susilo, MA., Ph.D., menguraikan empat faktor utama penyebab bencana ekologis global. Ada empat faktor fundamental terjadinya berbagai bencana di dunia, baik bencana kekeringan hingga hingga bencana banjir.

“Pertama ialah faktor lingkungan dimana tidak ada kemampuan alam untuk mengembalikan kerusakan yang terjadi. Kedua ialah faktor psikologis dimana kerakusan menjadi cara hidup manusia modern. Ketiga ialah faktor psikologis dimana kerusakan lingkungan secara makro diproduksi secara berjamaah. Terakhir adalah faktor politik dimana relasi kuasa dalam politik menyebabkan kompromi antara Pemerintah dan pengusaha,” paparnya.

Rachmad menegaskan bahwa kesadaran lingkungan harus diikuti dengan tindakan nyata. “Selama ini banyak diskusi yang membangun kesadaran merawat lingkungan, akan tetapi ketika sadar tidak mau bergerak, ini hal yang konyol. Kita sadar bahwa lingkungan kita telah mengalami kerusakan yang cukup parah, namun kita tidak mau bergerak untuk menjaga dan merawatnya,” tegasnya.

Ia juga menyoroti prinsip Islam dalam menjaga lingkungan. “Dalam Islam, banyak sekali ulama yang menulis tentang lingkungan, seperti Qardhawi yang menekankan bahwa menjaga lingkungan sama halnya kita menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga keturunan, dan menjaga harta,” tuturnya.

Lebih lanjut, Rachmad menilai Islam Berkemajuan memiliki peran strategis dalam pencegahan dan pemulihan lingkungan. Peran Islam berkemajuan melihat fenomena yang terjadi saat ini hadir untuk mendorong upaya pencegahan dan pemulihan lingkungan.

“Muhammadiyah juga memiliki buku fikih kebencanaan sebagai rujukan kita dalam aspek menjaga lingkungan. Kehadiran buku itu memberi tuntunan bagi kita untuk tidak merusak lingkungan hingga menghindari perilaku yang menghadirkan bahaya,” tegasnya.

Forum diskusi ini semakin dinamis ketika peserta dari kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan mahasiswa mengajukan pertanyaan kritis terkait konsistensi nilai-nilai Islam Berkemajuan dengan praktik pengelolaan tambang yang dimiliki organisasi Muhammadiyah. Pertanyaan tersebut mencakup aspek keberlanjutan lingkungan, keadilan sosial, dan transparansi.

Menanggapi hal itu, para narasumber menekankan pentingnya evaluasi bersama dengan pendekatan fikih lingkungan, etika bisnis Islam, dan manajemen modern.

“Inilah esensi dari kajian multidisipliner dan dialektika. Kita perlu berani menguji praktik kita sendiri dengan nilai-nilai yang kita usung. Pengelolaan tambang, atau aset apa pun, harus bisa menjadi teladan dalam penerapan prinsip al-‘adalah (keadilan) dan al-maslahah (kemanfaatan umum), dan Muhammadiyah ingin menjadi contoh bagaimana pengelolaan tambang yang baik,” jelas salah satu narasumber. (diki wahyudi)

Tinggalkan Balasan

Search