Kekuasaan terbentuk atas kesepakatan. Kalau tidak ada kesepakatan, maka tidak akan ada kekuasaan. Kesepakatan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, menjadi dasar terbentuknya kekuasaan. Kekuasaan akan hancur, hilang eksistensinya bila “kontrak sosialnya” hancur, meminjam istilah John Lock.
Ken Arok berkuasa atas dasar penaklukkan. Menaklukkan Tunggul Ametung dengan membunuh. Atas dasar balas dendam, Anak Tunggul Ametung membunuh turunan Ken Arok untuk menjadi penguasa, begitu seterusnya, persoalan suksesi tidak pernah selesai.
Ketika yang dituju di puncak piramida kehidupan adalah kekuasaan, maka akan selalu terjadi gesekan dan perang, ujungnya adalah kehancuran dan kebinasaan. Banyak kekuasaan di dunia ini, hanya tinggal puing-puingnya sejarah, bahkan hanya menjadi legenda dan mitos. Orang Melayu menyebut, ”Menang jadi Arang, kalah jadi abu”. Dua-duanya sama-sama hancur dan musnah, jadi Arang atau Abu.
Dalam Kontrak Kesepakatan, harus ada equilibriumitas, ada keseimbangan, ada “mu’adalah”, ada keadilan, ada “musawah”, ada kesamaan, terutama dalam hal-hal pokok dan mendasar yaitu: Kepercayaan (agama, al-din), keselamatan jiwa (nilai kemanusiaan, al-nafs), hak intelektual, (al-fikr, al-‘aql), hak properti (kekayaan, al-mal), keamanan (al-amn) dan kelangsungan hidup (al-nasl).
Bila equilibriumitas bermasalah, maka struktur bangunan menjadi tidak seimbang, miring, tidak tegak-lurus, berat sebelah, ada yang di atas dan ada yang di bawah, ada yang dilebihi, ada yang dikurangi, ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang tertindih dan ada yang menindih, ada yang menindas dan ada yang tertindas. Bangunannya tidak equiblirium lagi, sudah miring, sudah tidak seimbang, yang menjadi titik pangkal hancurnya sebuah bangunan bangsa.
Hukum alam, sunnatullah memberitahukan: “Keadilan akan menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, kezaliman akan menimbulkan kerusakan dan kehancuran.”
Seorang juris muslim besar, Ibn Taimiyah ngomong, “Kekuasaan akan langgeng meskipun dipimpin oleh penguasa kafir namun adil; sebaliknya, kekuasaan akan hancur meski dipimpin penguasa muslim namun zhalim.” Mengapa? Keadilan menciptakan keseimbangan, kekuatan, kohesi sosial, kerekatan sosial, persaudaraan, keadilan, dan kesejahteraan; sedang kezaliman akan menciptakan ketidak adilan, permusuhan dan peperangan, sehingga kekuasaan menjadi goyah dan mudah runtuh.
Banyangkan, di sebuah negara yang dihuni lebih dari 280 juta rakyat, yang berkuasa hanya segelintir orang, satu keluarga atau kroni saja, lalu membuat aturan, undang-undang, hanya untuk memproteksi diri, keluarga, kroni, dan oligarkhi. Kekuasaan hanya untuk merampok kekayaan negara yang seharusnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat, diperuntukkan hanya untuk diri, keluarga, dan kroni.
Rakyat, gigit jari, mengemis, berlari-lari mengais sisa rezeki. Tanah, air, dan udara sudah dikapling-kapling peruntukannya untuk diri, keluarga, dan kroni. Ironi, terjadi di negeri yang profesor, doktor, sarjana, lulusan SMA hingga putus sekolah jumlahnya jutaan, dibuat dungu hanya oleh seorang penguasa, keluarga, dan kroni, yang ijazahnya tidak jelas. Bagaimana tidak dungu, gelar akademik setinggi gunung, dibuat dungu oleh keluarga, kroni, dan oligarkhi yang pendikannya tidak jelas. Bagaimana tidak dungu, negara menjadi pelayan keluarga, kroni, dan oligarkhi, padahal banyak orang yang berpendidikan doktor dan bergelar profers
Amar ma’ruf nahi munkar, diperlukan untuk menegakkan equilibrium berbangsa dan bernegara. Amar ma’ruf nahi munkar dibangun atas ilmu bukan atas nafsu dan kejahilan. Ma’ruf berasal dari kata dasar “’arafa” yang memiliki arti “tahu”. Tahu adalah pangkal pokok wujudnya ilmu pengetahuan (science). Kata “ma’rifat” memiliki arti “pengetauan”. “Ma’ruf” berarti sesuatu yang sudah diketahui, dikenal, yang sudah menjadi adat-istiadat masyarakat, karena kebaikan yang dipraktikkan secara berulang-ulang sehingga menjadi ‘urf (adat istiadat). Ilmu pengetahuan melahirkan teknologi canggih dan spektakuler, basisnya adalah “pengetahuan”, bukan berbasis kebodohan (jahl).
Pengetahuan yang dipraktikkan bersama-sama oleh masyarakat (ilmu), menjadi adat-istiadat (kebiasaan) yang disebut dalam istilah Ushul Fiqh dengan “’urf” (adat). Mengapa “’urf” dinamakan “adat-istiadat”, karena sesuatu yang “baik” (‘urf) akan selalu diulangi, ditiru, dilestarikan secara bersama-sama, turun-temurun, sehingga menjadi abadi, langgeng, dan “kekal”; sedang sesuatu yang buruk (munkar) akan selalu ditolak, diinkari, dijauhi, dan tidak diulang-ulang lagi, karena ditolak oleh nurani, sehingga keburukan tidak pernah menjadi adat-istiadat, sehingga hilang ditelan waktu, hanya muncul dalam saat tertentu. Ia dianggap “oknum”, penyelewengan, di luar kebiasaan, karena itu, ia tidak langgeng, cepat hilang.
Amar ma’ruf artinya membangun kebaikan, membangun kebudayaan dan peradaban, bukan membangun sesuatu yang diingkari (munkar). Nahi munkar artinya mencegah hal-hal yang “diinkari” nurani dan akal sehat. Secara inheren ia destruktif, merusak akal fikiran dan hati nurani. Karena itu, kemunkaran akan menimbulkan dekadensi moral dan fikiran rasional.
Kerusakan moral menjadi titik awal rusaknya keadaban. Munculnya sifat tidak punya malu, tidak aktif berbuat kebaikan dan suka berbuat keburukan, tidak peduli halal dan haram, tidak risih untuk berakhlak terpuji atau berakhlak tercela adalah pangkal runtuhnya pasak bangsa. Kalau bangunan masyarakat kehilangan sendi-sendi moralnya, berarti sama saja dengan meruntuhkan bangunannya sendiri, menggali lubang kuburnya sendiri. Hancurnya moral adalah kubangan lumpur tempat terkuburnya dosa, fitnah, cobaan, siksaan, dan bencana. Nahi munkar berarti upaya sekuat tenaga untuk mencegah hal-hal buruk yang mengakibatkan kerusakan, kehancuran, dan datangnya bencana besar. Namun tida
Sebuah bangsa yang ber-amar ma’ruf berarti berbuat kebaikan untuk membangun peradabannya, sedang beraksi nahi munkar adalah aksi persuasif dan preventif untuk mencegah terjadinya kerusakan, keburukan, dan kehancuran yang akan terjadi. Melakukan amar ma’ruf tanpa dibarengi nahi munkar, sama saja dengan membangun rumah, setelah jadi, lalu dirobohkan; atau sama juga dengan meminum madu, setelah itu langsung menegak racun.
Meminjam istilah Prof. Amien Rais, “Pesawat terbang harus ada dua sisi sayapnya, bila tidak ada satu di antara dua sayapnya, maka pesawat tidak akan bisa terbang.” Atau sebaliknya, bila pesawat sudah terbang, namun salah satu sayapnya patah, maka pesawat tersebut akan jatuh hancur lebur.” Dua sisi sayap tersebut adalah “amar ma’ruf dan nahy munkar.”
Al-Qur’an mengatakan, “Jangan mengganggu keseimbangan!” (wa la tukhsiru al-mizan), karena sangat berbahaya. Dr. Imaduddin ‘Abdul Rahim pernah mengatan, “Hukum alam sifatnya pasti, fixet, dan tak berubah-ubah. Hukum sosial juga seperti itu, sifatnya pasti. Yang membedakan hanyalah waktu. Penyimpangan atas hukum alam, maka seketika itu akan terjadi akibatnya. Sedang penyimpangan hukum sosial, membutuhkan waktu lama. Orang, sekelompok orang, perusahaan, holding perusaahaan, misalnya melakukan perusakan alam dengan merompak kayu hutan, meski ada izin legalitasnya sehingga menjadi boleh, namun perusakan alam tidak bisa ditawar akan berakibat fatal. Karena ada legalitas formil di atas kertas.
Bagi Yang Maha Kuasa, pelanggaran tetap pelanggaran, perompakan hutan tanpa ada reboisasi yang cepat sebagai penggantinya, maka hukuman atas kerusakan pasti akan datang.
Kata Bang Imad, hukum alam tidak memandang apakah muslim, kafir, munafik, musyrik, dan lainnya, siapa yang melanggar, bencana pasti terjadi, dan akibat yang datang, tak hanya akan mengenai pelanggar saja, semua yang ada di daerah terdampak, akan terkena musibah, yang muslim, kafir, munafik, atau pun yang musyrik, semua pasti kena dampaknya.
Musibah “Bahorok” (2003- https://www.kompas.id/artikel/mengenang-malapetaka-bahorok-2003-bukti-kita-tak-pernah-belajar-dari-bencana), dan sekarang Banjir Bandang di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, yang disertai gelondongan kayu besar, tak akan memilih korban. Orang baik, shalih, penjahat, perusak alam, akan terkena akibatnya semua. Karena itu, perlu keseimbangan alam, sosial, hukum, dan ekonomi, juga lainnya. Membangun peradaban dan membiarkan kebiadaban, akan menghancurkan masa kini dan masa depan.
Ibn Khaldun yang meneliti tentang tumbuh-kembang, maju-runtuhnya suatu peradaban dan bangsa mengatakan, “Semaju apa pun peradaban, akan runtuh manakala tidak berkeadilan.” Ketidakadilan jadi pemantik api kerusakan peradaban dan bngsa yang dimulai dari runtuhnya sendi-sendi moral, yang memutus urat malu kemunkaran, lalu merusak norma dan aturan yang diundangkan. Runtuhlah segala ikatan dan kesepakatan, berkelahi dan menghabisi siapa saja yang menghalangi, politik bumi hangus, yang tinggal hanya puing-puing kebesaran, relief, dan tulisan masa lampau, jadilah di kemudian hari sebagai legenda yang hanya nyaman untuk dikenang, atau sekedar mitos yang diceritakan.
Dalam sejarah Ilmu Kalam, Teologi Islam, yang memasukkan konsep “keadilan” sebagai bagian utama doktrin pokoknya adalah aliran Mu’taziah, yang terkenal dengan “al-Ushul al-Khamsah” (Panca Sila): 1. Al-Tauhid; 2. Al-‘Adalah; 3. al-Wa’d wa al-Wa’id; 4. Amr al-Ma’ruf wa Nahy ‘an al-Munkar; 5. Al-Manzilah bain al-Manzilatain.
Mu’tazilah memandang posisi “keadilan” begitu strategis dalam teologi, dan meletakkan Allah sebagai Dzat yang Maha Adil, maka mutalazimah-nya, turunan dari prinsip ini adalah, segala amaliah Tuhan menunjuk kepada nilai keadilan, bahkan dalam menilai keimanan, amaliah manusia, juga ditimbang dari kerangka keadilan juga.
Mu’tazilah memandang, bahwa tanpa keadilan, semua tatanan kosmologi akan rusak, dan Tuhan pun bertindak atas nama keadilan, maka konsekwensinya adalah, siapa saja yang berbuat kebajikan pasti akan memperoleh ganjaran kebaikan sebagaimana yang dijanjikan Allah (al-wa’d), sebaliknya, siapa yang berbuat keburukan, maka akan memperoleh akibat buruk dari apa yang dikerjakannya sebagaimana janji ancaman yang Allah janjikan (al-wa’id).
