Ayah Hamka, DR. Amrullah, tokoh modernis dari Sumatera Barat, bangga disebut Mu’tazilah oleh “musuh-musuh” pemikirannya, karena mendukung penggunaan ratio dalam memahami agama. Ayah Hamka memandang bahwa rasio penting dalam memahami agama.
Bencana alam adalah “taqdir” Allah, yaitu “Ketetapan” Allah bagi siapa saja yang berbuat keburukan, maka akan dapat akibat yang setimpal dari perbuatan buruknya. Dan “Ketentuan” Allah, bagi siapa saja yang berbuat baik, maka Allah akan menganugerahkan kebaikan bahkan berlibat dari sepuluh, seratus, tujuh ratus, ribuan, hingga tak terhingga “bi ghairi hisab”. Begitu juga akibat buruk dari perbuatan jahat yang telah dilakukan, adalah hukuman setimpat atas perbuatan buruk yang telah diperbuat.
Kalau sudah terjadi musibah, maka akibat buruk yang berbentuk musibah, kata Allah sendiri, tidak akan hanya menimpa para pendosa besar belaka, yang tidak berbaut dosa pun, bisa kena imbasnya. (QS. Al-Anfal/8: 25). Dr. Imaduddin, sarjana elektro ITB Bandung pernah menyatakan, “Rumah ibadah yang tidak menggunakan penangkal petir, akan terkena sambaran petir, dan Sinagok, Gereja, yang menggunakan penangkal petir, akan selamat dari hantaman petir.” Muslim dan non-muslim tidak menjadi titik tolak bagi hukum alam, hukumnya sama. Kemusliman seseorang tidak kemudian menyelamatkan seseorang dari Sunnatullah sengatan listrik manakala dipegang, dan yang non-muslim juga tidak akan selamat dari setruman listrik, manakala ia memegangnya. Itulah sunnatullah, berlaku bagi siapa saja.
Musibah banjir bandang, longsor, yang disertai gelondongan kayu-kayu besar, jelas akibat perbuatan perampokan hutan, pelakunya pasti ada, dan itu bukan perbuatan Malaikat atau Iblis, namun manusia. Orang menabrak orang lain dengan tidak sengaja, ada hukuman pidananya, apalagi musibah akibat olah perambah hutan, yang mengakibatkan ribuan nyawa melayang, rumah, harta benda, ekonomi, ternak, dan lainnya hilang, musnah, harus ada yang dihukum, bukan yang kelas teri, yang kakap dan paus, termasuk yang memberi izin juga harus dihukum.
Begitu pentingnya keseimbangan, al-mizan, bahkan tidak ada di dunia ini yang membeli barang yang lebih mahal daripada membeli yang lebih jauh murah, kalau tidak ada niatan untuk mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
Sebaliknya, Nabi pernah murka kepada tengkulak yang membeli barang dagangan orang desa dengan harga yang sangat jauh di bawah standar; Nabi juga menyuruh mengembalikan pedagang yang mengambil untung berkali lipat dari harga pasaran. Mengapa? Semua perilaku ekonomi tersebut merusak tatanan ekonomi, sosial, merusak ekuilibrium masyarakat, yang akan menciptakan lintah-lintah darat, makan tulang saudaranya sendiri, sesama manusia, saling mengambil keuntungan atas posisi lemah yang lain, menggunting dalam lipatan, mengambil sesuatu yang tampak tidak kelihatan merusak, namun membuat lobang kerusakan yang sangat lebar dan menganga saat terbuka. Semua itu merusak tatan ekonomi.
Nabi mengibaratka Negara dengan kapal, jika orang yang haus di bagian bawah melobangi kapal, begitu juga ada orang yang haus di dek lainnya melobangi kapal, begitu seterusnya, maka kapal akan bocor, air laut masuk, kapal akan tenggelam. Begitulah negara, jika satu orang, keluarga, kelompok, merusak keutuhan negara, tatanan negara menjadi rusak, dinding-dindingnya bocor, pertahanannya tidak ada, air bah mudah masuk, tikus-tikus mudah masuk rumah bangsa, penyakit menginfeksi segala lapisan masyarakat, terjadilah endemi sosial, yang berakibat hancurnya perahu bangsa dan negara.
Bangunan berbangsa dan negara, runtuh karena dinding sosial tidak lagi bisa melindungi dan menyekat semua pengikat dan pelindung kohesi sosial, tiang-tiang berbangsa dan bernegara tidak mampu menyanggah beban berat atap pengayom seluruh penduduk yang mendiami rumah bangsa dan negara, ambruklah bangunan negara, karena sudah tidak ada lagi tiang, dinding, atap, lantai, yang membangun struktur rumah berbangsa dan bernegara, karena sudah rusak,
Korupsi adalah tindakan pencurian yang melobangi karung kekayaan bangsa dan negara. Melegalkan aturang yang melanggar kesepakatan bersama hanya untuk keuntungan satu orang, satu keluarga, dan oligarkhi adalah merusak perahu berbangsa dan bernegara, merobek-robek aturan yang ekual untuk semua orang. Perahu menjadi oleng, karena ada lubang yang menganga yang bisa membuat kerusakan lanjutan baru yang masuk dalam bahtera. Tenggelamlah kapal negara ke dalam dasar lautan yang dalam.
Bantera Indonesia akan selamat hingga pulau tujuan, manakala para pembobol dinding bantera ditangkap, dikrankeng, atau diceburkan ke laut, bila membahayakan keselamatan bahtera. Tinggal nahkodanya, harus berani bertindak. Bila tidak berani, ada dua kemungkinan: 1. Bahtera akan selamat bila mampu mengatasi kebocoran; 2. Bahtera akan tenggelam. Untuk yang kedua, lebih baik awak penumpang bertindak mengamankan bahtera dan mengganti nakhkoda, bila nakhdoka unpowered. (*)
