Fenomena Penukaran Uang Baru Menjelang Idulfitri, Apakah Termasuk Riba?

Fenomena Penukaran Uang Baru Menjelang Idulfitri, Apakah Termasuk Riba?

*)Oleh: Alfain Jalaluddin Ramadlan
Koprs Mubaligh Muda Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ketua PC IMM Lamongan Bidang Tabligh dan Kajian Keislaman)

Fenomena penukaran uang baru menjelang Hari Raya Idulfitri telah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia. Kegiatan ini erat kaitannya dengan budaya berbagi, terutama kepada anak-anak dalam momen Syawalan atau Halal Bihalal keluarga besar.

Pada kesempatan tersebut, anak-anak biasanya menerima amplop berisi uang pecahan kecil sebagai bentuk kasih sayang dan kebahagiaan.

Namun, di balik tradisi ini, muncul pertanyaan yang kerap diperdebatkan: Apakah jasa penukaran uang baru yang mengenakan biaya tambahan termasuk dalam kategori riba? Sebab, dalam praktiknya, penyedia jasa memperoleh keuntungan dari selisih nilai uang yang ditukarkan.

Pandangan Islam tentang Jual Beli Mata Uang

Islam memberikan pedoman yang jelas mengenai jual beli mata uang (Al-Sharf). Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 28/DSN-MUI/III/2002 yang menetapkan beberapa ketentuan dalam transaksi jual beli mata uang:

Pertama, tidak untuk spekulasi (untung-untungan).

Kedua, Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).

Ketiga, Jika mata uang yang ditukar sejenis, maka nilainya harus sama dan dilakukan secara tunai (attaqabudh).

Keempat, Jika berbeda jenis, harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku dan secara tunai.

Dalam konteks penukaran uang pecahan baru dengan jumlah yang sama tanpa tambahan biaya, hukumnya diperbolehkan. Namun, jika terdapat selisih atau biaya tambahan, hal ini bisa masuk dalam kategori riba yang dilarang.

Dalil tentang Larangan Riba

Allah Swt berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 275:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Rasulullah shalallahu alaihi wa salam juga bersabda:

الرِّبا اثنان وسبعون بابًا أدناها مثلُ إتيانِ الرَّجلِ أمَّه

“Dosa riba terdiri dari 72 pintu. Dosa riba yang paling ringan adalah bagaikan seorang Iaki-Iaki yang menzinai ibu kandungnya.” (HR Thabrani).

Apakah Jasa Penukaran Uang Baru Termasuk Riba?

Di masyarakat, sering kali ada jasa penukaran uang baru yang mengenakan potongan. Contohnya, seseorang ingin menukar Rp100.000 dalam pecahan kecil, tetapi hanya menerima Rp90.000 karena ada biaya jasa Rp10.000. Dalam fiqh muamalah, praktik ini termasuk dalam riba nasi’ah, yaitu pertukaran mata uang sejenis dengan tambahan yang tidak dibenarkan.

Namun, jika penukaran dilakukan dengan nilai yang sama tanpa ada selisih, hukumnya diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan transaksi money changer, di mana pertukaran uang dilakukan dengan mata uang berbeda dan berdasarkan nilai tukar yang berlaku.

Solusi agar terhindar dari riba

Agar transaksi penukaran uang tetap sesuai syariat Islam, berikut beberapa solusi yang bisa diterapkan:

Kesatu, menukar langsung di bank yang menyediakan layanan penukaran uang tanpa biaya tambahan.

Kedua, menukar dengan nominal yang sama, tanpa ada tambahan keuntungan bagi salah satu pihak.

Ketiga, menghindari jasa penukaran yang mengambil keuntungan dari selisih nilai uang.

Doa agar terhindar dari riba dan lilitan utang,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan kesedihan. Aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang serta kesewenang-wenangan manusia.”

Semoga kita dijauhkan dari praktik riba dan diberikan rezeki yang halal, berkah, serta thayyib. Aamiin.

Nashrun minallah wa fathun qarib, wabasyiril mu’minin. (*)

Comment

  • Saya berbeda melihat ini, menurut saya itu bukan riba, melainkan jasa atau upah utk mereka telah mengusahakan menyediakan uang baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *