Fikih Futuristik: Menembus Batas Waktu, Menjawab Tantangan Umat

Fikih Futuristik: Menembus Batas Waktu, Menjawab Tantangan Umat
*) Oleh : Prof Triyo Supriyatno
Wakil Ketua PDM Kota Malang
www.majelistabligh.id -

Dalam sejarah pemikiran Islam, fikih sering dipahami sebagai perangkat hukum yang merespons realitas yang sudah terjadi. Banyak orang melihat fikih sebagai disiplin yang menunggu problem datang, baru kemudian memberikan jawaban. Padahal, jika melihat khazanah klasik, fikih tidak pernah bersifat pasif. Ia adalah instrumen dinamis yang bukan hanya mengurusi persoalan masa kini, tetapi juga menyiapkan jawaban untuk tantangan masa depan. Di sinilah konsep al-Fikih al-Iftirāḍī, atau fikih futuristik, menemukan makna pentingnya.

Fikih futuristik berangkat dari gagasan bahwa seorang faqih sejati bukanlah pengumpul pendapat ulama, melainkan seseorang yang mampu menggali hukum dari nash untuk persoalan yang belum pernah terjadi. Faqih bukan sekadar menghafal, tetapi memiliki kemampuan istinbat, menganalisis, dan memproyeksikan hukum berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Inilah ciri ulama yang memiliki kedalaman pandangan, sebagaimana firman Allah:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

Jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, niscaya orang-orang yang mampu menarik kesimpulan (istinbat) akan mengetahuinya.” (QS. An-Nisā’ [4]: 83)

Ayat ini menunjukkan bahwa kemampuan istinbat adalah karakter ulama berwawasan jauh, yang mampu membaca dimensi masa depan dari teks-teks syar‘i.

Tradisi fikih futuristik memiliki akar kuat dalam sejarah. Madrasah al-Ra’yi yang dipelopori Imam Abu Hanifah mengembangkan metode bertanya dengan rumusan ara’ayta law…? (“Bagaimana jika suatu saat terjadi…?”). Mereka merumuskan hukum bagi kondisi yang pada zamannya belum pernah dibayangkan. Sebagian ulama mengkritik pendekatan ini sebagai terlalu mengandalkan akal, namun Abu Hanifah justru melihatnya sebagai bentuk kecerdasan dalam menjaga kemaslahatan umat.

Contoh konkret dapat ditemukan dalam Tuḥfah al-Ḥabīb ‘alā Sharḥ al-Khaṭīb yang memuat pembahasan tentang hukum seseorang yang berhaji dengan “terbang” menuju Tanah Suci, pada masa ketika pesawat terbang belum ditemukan. Pertanyaan itu terdengar fantastis pada zamannya, tetapi kini menjadi kenyataan. Para ulama tersebut terbukti jauh melampaui batas ruang zamannya.

Literatur fikih lain—seperti al-Umm karya Imam Syafi’i dan al-Kāfī dalam mazhab Hanbali—juga memuat banyak skenario hipotetis. Semua ini menunjukkan bahwa fikih sejak awal sudah memiliki watak antisipatif dan visioner.

Di era perkembangan teknologi yang sangat cepat—AI, robotik, bioteknologi, crypto asset, dan eksplorasi luar angkasa—kebutuhan akan fikih futuristik menjadi semakin nyata. Persoalan modern semakin kompleks: bagaimana hukum salat di orbit? Apakah robot dapat bertindak sebagai wakil dalam akad? Bagaimana zakat aset digital? Bagaimana hukum penggunaan kecerdasan buatan dalam keputusan hukum? Bagaimana etika memodifikasi gen manusia?

Umat tidak bisa menunggu hingga masalah muncul untuk kemudian mencari hukum. Kita membutuhkan pendekatan yang memungkinkan fikih menjadi navigasi masa depan, bukan hanya respons masa kini. Ini selaras dengan pesan Nabi SAW:

“لَا يَزَالُ اللَّهُ يَغْرِسُ فِي هَذَا الدِّينِ غَرْسًا يَسْتَعْمِلُهُمْ فِي طَاعَتِهِ”

Allah senantiasa menanam dalam agama ini orang-orang yang akan dipakai untuk menaati-Nya.” (HR. Ahmad)

Hadis ini dapat dimaknai bahwa setiap generasi akan melahirkan ulama yang relevan dengan tantangan zamannya. Ulama zaman digital tidak cukup hanya memahami fikih tradisional; mereka harus mampu memproyeksikan persoalan masa depan.

Al-Qur’an bahkan memerintahkan umat untuk bersiap menghadapi perubahan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ

Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah dipersiapkannya untuk hari esok.” (QS. Al-Ḥasyr [59]: 18)

Ayat ini tidak hanya berbicara tentang akhirat, tetapi juga tentang kesadaran strategis menghadapi masa depan. Fikih futuristik menghidupkan perintah ini dalam domain hukum dan sosial.

Dalam konteks Muhammadiyah, gagasan fikih futuristik sangat sejalan dengan tradisi tajdid. Majelis Tarjih telah lama menjadi pusat ijtihad modern yang menggabungkan nash, rasio, ilmu pengetahuan, dan maslahat. Tantangan berikutnya adalah memperkuat horizon ijtihad yang lebih futuristik dan multidisipliner.

Muhammadiyah memerlukan generasi faqih baru yang bukan hanya ahli kitab klasik, tetapi juga memahami perkembangan teknologi, ekonomi digital, bioetika, hingga ekologi. Mereka harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai syar‘i dengan perubahan global yang terus berlangsung. Inilah bentuk implementasi dari sabda Nabi SAW:

“أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُورِ دُنْيَاكُمْ”

Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)

Hadis ini membuka ruang ijtihad yang luas, bahwa urusan dunia—termasuk teknologi dan perkembangan masa depan—memerlukan keahlian manusia. Fikih futuristik berfungsi memberi bingkai moral dan prinsip syariah atas kemajuan tersebut.

Dengan pendekatan ini, fikih tidak akan dipandang sebagai sesuatu yang menghambat kemajuan, tetapi justru sebagai panduan etis yang memastikan agar kemajuan tidak kehilangan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan.

Fikih futuristik bukan fantasi. Ia adalah kebutuhan. Dunia bergerak dengan kecepatan yang tidak pernah dialami generasi sebelumnya. Jika fikih hanya bergerak secara reaktif, umat akan tertinggal dan tidak mampu memandu arah perubahan. Tetapi jika fikih bergerak futuristik—mengantisipasi, membaca tanda-tanda zaman, dan memproyeksikan hukum berdasarkan maqasid syariah—maka umat Islam akan siap menjadi pelaku utama peradaban yang berkemajuan.

Di titik inilah visi tajdid Muhammadiyah menemukan relevansinya: memadukan wahyu, akal, dan ilmu pengetahuan untuk membangun masa depan umat. Dengan fikih futuristik, syariah tidak hanya menjadi pedoman hari ini, tetapi juga menjadi cahaya bagi hari esok. Dengan itu pula, Islam benar-benar hadir sebagai rahmatan lil ‘alamin—bukan hanya pada masa lalu, tetapi sepanjang perjalanan umat manusia menuju masa depan. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Search