”The purity of faith is not measured by how much we mix, but how firmly we maintain the boundaries that Allah has outlined”
“(Kemurnian iman tidak diukur dari seberapa besar kita berbaur, tapi seberapa teguh kita menjaga batas yang Allah gariskan)”
Waspadalah, pola toleransi “tukar ucapan” hari raya sering kali menjadi ujian bagi tauhid kita. Sejarah mencatat kaum kafir Quraisy pernah menawarkan kompromi serupa: saling menyembah tuhan satu sama lain demi kebersamaan. Namun, Islam tegas menolak sinkretisme dalam ibadah.
Allah menjawab tawaran tersebut yang ditutup dengan kalimat,
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Artinya:
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Qs. Al-Kafirun: 6)
Dalam tafsir Al-Qurthubi menegaskan bahwa ayat ini adalah pemutus harapan kaum musyrikin untuk mencampuradukkan agama. Sejalan dengan itu, Dari Ibn Umar beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.“(HR. Abu Daud No. 4031)
Inti dari hadis ini adalah peringatan agar umat Muslim menjaga identitas keislaman mereka dan tidak larut dalam budaya atau tradisi yang dapat mengikis keimanan atau membuat mereka tampak seolah-olah bagian dari kaum yang keyakinannya berbeda secara fundamental.
Jadi, toleransi yang benar adalah membiarkan mereka dalam keyakinannya tanpa kita harus kehilangan jati diri. Menjaga batas dalam ritual agama lain adalah bentuk ketaatan. Mari perkuat pondasi tauhid kita, karena hanya dengan iman yang lurus kita meraih keselamatan dunia dan akhirat.”
Semoga bermanfaat.
