Pertunangan atau pinangan merupakan tahapan yang lazim dilakukan masyarakat sebelum melangsungkan akad nikah. Dalam proses ini, pihak laki-laki meminang pihak perempuan atau sebaliknya, untuk menyatakan keinginan menjadi pasangan hidup. Jika pinangan diterima, ada dua kemungkinan: akad nikah langsung dilaksanakan atau dijadwalkan pada waktu tertentu.
Masa antara diterimanya pinangan hingga pelaksanaan akad nikah disebut sebagai masa pertunangan. Tradisi ini dikenal hampir di seluruh daerah Indonesia dengan berbagai bentuk alat pengikat seperti cincin, perhiasan, keris, dan simbol lain sesuai adat setempat. Bila pertunangan dibatalkan, pihak yang memutuskan umumnya dikenai sanksi adat, misalnya pengembalian pemberian atau denda tertentu.
Menurut B. Ter Haar Bzn (1939), pertunangan merupakan perjanjian antara dua pihak untuk melangsungkan akad nikah di kemudian hari. Sementara Syaikh Mahmud Syaltut (1950) menyebutkan bahwa lembaga pertunangan dikenal di hampir semua bangsa, termasuk yang memeluk agama Islam.
Lalu bagaimana hukum pertunangan menurut Islam? Apakah ada dalil yang membolehkannya atau melarangnya?
Pertunangan dalam Pandangan Hukum Islam
Hingga kini tidak ditemukan nash Al-Qur’an maupun Hadis yang secara tegas membolehkan atau melarang pertunangan. Karena itu, pertunangan termasuk persoalan ijtihadiyah. Yakni masalah yang ditetapkan melalui penalaran berdasarkan prinsip syariat.
Ada tiga pendekatan untuk memahami hukum pertunangan:
1. Pendekatan Hadis: Isyarat Kebolehan Pertunangan
Salah satu dalil yang menjadi dasar kebolehan pertunangan ialah hadis berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَخْطُبُ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأذَنَ لَهُ. {متفق عليه}
“Janganlah salah seorang di antara kalian meminang perempuan yang sedang dipinang saudaranya, sampai peminang sebelumnya mengurungkan pinangannya atau memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa: meminang perempuan itu diperbolehkan. Dan, ada tiga kemungkinan setelah pinangan dilakukan: pinangan ditolak dan proses selesai, pinangan diterima dan akad nikah dilaksanakan segera dan pinangan diterima namun akad ditunda ke waktu tertentu.
Kemungkinan ketiga inilah yang selaras dengan praktik pertunangan dalam adat. Dengan demikian, hadis tersebut dapat dipahami sebagai salah satu dasar syar’i untuk membolehkan pertunangan.
2. Pendekatan Akad: Pertunangan sebagai Perjanjian yang Sah
Pertunangan dapat dimasukkan ke dalam kategori akad (perjanjian). Selama tidak ada larangan syariat terhadap suatu akad, maka akad tersebut dibolehkan. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
Dan firman Allah SWT:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
“… dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban.”
Hadis Nabi SAW juga menegaskan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan pernikahan adalah sah dan harus ditepati:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَااسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ. {متفق عليه}
Untuk mencegah perselisihan, Islam menganjurkan agar akad pertunangan didukung dengan bukti seperti dokumen atau saksi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ… وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah (melakukan perjanjian perikatan) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu…” (QS. Al-Baqarah: 282).
Hal ini dapat diterapkan pada perjanjian pertunangan agar bila terjadi pembatalan, kedua pihak memiliki dasar penyelesaian yang jelas.
3. Pendekatan Kaidah Fikih: Adat Ditetapkan sebagai Hukum
Kaidah fikih menyebutkan:
اَلْعَادَةُ مُحْكَمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”
Karena pertunangan telah menjadi adat yang kuat di berbagai suku bangsa, termasuk di Indonesia, maka praktik tersebut dapat diterima selama tidak bertentangan dengan syariat.
Menurut B. Ter Haar Bzn dan Mahmud Syaltut, pertunangan adalah lembaga adat yang memperkuat proses pernikahan dan tidak menyalahi prinsip syariat. Karena itu, mayoritas ulama membolehkan pertunangan.
Permasalahan Jika Pertunangan Dibatalkan
Masalah sering timbul ketika pertunangan putus, sementara kedua pihak sudah saling memberi hadiah atau perjanjian tertentu. Jika tidak ada bukti, penyelesaian bisa menjadi sulit.
Untuk itu, Islam menganjurkan agar perjanjian pertunangan dituangkan dalam bentuk bukti tertulis; menghadirkan saksi; dan dibuat secara jelas sejak awal.
Bila hal ini dilakukan, sengketa dapat diselesaikan dengan merujuk pada bukti yang telah disepakati.
Namun pertunangan tetap bukan akad nikah, sehingga tidak memberikan hak-hak layaknya suami istri. Persoalan terkait hadiah, pembatalan, atau janji dapat dihindari bila perjanjian pertunangan dibuat secara jelas dan disaksikan.
