Hukuman Bagi Provokator

Hukuman Bagi Provokator
*) Oleh : Muhammad Nashihudin, MSi
Ketua Majelis Tabligh PDM Jakarta Timur
www.majelistabligh.id -

Adapun mengenai hadis Mu’awiyah yang mengatakan:

“كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أن يغفره إلا الرجل يموت كافرا، أو الرَّجُلُ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا”

Semua dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.

Pengertian lafaz asa dalam ayat ini menunjukkan makna tarajji (harapan). Apabila pengertian tarajji pada kedua gambaran tersebut tidak ada, bukan berarti meniadakan terjadinya tarajji pada salah satu dari kedua gambaran itu. Yang dimaksud ialah membunuh, karena adanya banyak dalil, seperti yang telah kami kemukakan di atas.

Orang yang mati dalam keadaan kafir, menurut nas dinyatakan bahwa Allah sama sekali tidak memberikan ampunan baginya. Mengenai tuntutan si terbunuh terhadap si pembunuh kelak di hari kiamat, sesungguhnya hal ini termasuk hak-hak yang menyangkut anak Adam di antara sesama mereka. Hal ini jelas tidak dapat dihapus dengan tobat, melainkan sudah merupakan suatu keharusan urusannya dikembalikan kepada mereka yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang yang terbunuh dan orang yang dicuri, orang yang digasab dan orang yang dituduh berbuat zina, dan semua hak yang menyangkut anak Adam. Karena sesungguhnya ijma’ telah sepakat bahwa hak-hak anak Adam tidak dapat digugurkan oleh tobat, melainkan harus dikembalikan kepada mereka yang berhak untuk kebenaran tobatnya.

Jika pengembalian hak ini tidak dapat dilaksanakan di dunia, pasti di hari kiamat akan dituntut. Tetapi adanya tuntutan ini tidak memastikan adanya pembalasan, karena barangkali si pembunuh mempunyai banyak amal saleh yang keseluruhan atau sebagiannya dapat dibayarkan kepada si terbunuh. Kemudian dengan sisa amal saleh yang masih dimilikinya, akhirnya ia dapat masuk surga karenanya. Atau barangkali Allah memberikan kepada si terbunuh ganti rugi menurut apa yang dikehendaki-Nya dari kemurahan-Nya, yaitu berupa gedung-gedung di dalam surga berikut semua kenikmatan yang ada di dalamnya, dan derajatnya ditinggikan di dalamnya, serta lain sebagainya yang serupa.

Selanjutnya bagi pelaku pembunuhan secara sengaja terdapat ketentuan-ketentuan hukumnya di dunia dan ketentuan-ketentuan hukumnya di akhirat. Mengenai ketentuan hukumnya di dunia ialah ia diserahkan kepada para wali si terbunuh, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنا لِوَلِيِّهِ سُلْطاناً

Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya. (Al Isra: 33), hingga akhir ayat.

Kemudian ahli waris si terbunuh disuruh memilih antara membunuh si pembunuh, atau memaafkan atau menerima diat berat yang terdiri atas tiga macam, yaitu tiga puluh ekor unta hiqqah, tiga puluh ekor unta jaz’ah, dan empat puluh ekor unta khilfah, seperti yang diterangkan di dalam kitab-kitab fiqih.

Para imam berbeda pendapat mengenai masalah memerdekakan seorang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut ataukah memberi makan, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat, seperti ketentuan yang telah disebutkan dalam keterangan kifarat membunuh secara tersalah (tidak sengaja). Ada dua pendapat mengenainya.

Menurut pendapat Imam Syafii, semua muridnya, dan segolongan ulama, kifarat hukumnya wajib atas si pembunuh. Karena jika dalam kasus pembunuhan secara tidak disengaja ia diwajibkan membayar kifarat, maka terlebih lagi dalam kasus pembunuhan secara sengaja. Mereka mengkiaskan hal ini dengan masalah sumpah palsu, dan mengemukakan alasannya dengan menyebutkan masalah qada salat yang ditinggalkan secara sengaja; bahwa menurut kesepakatan mereka, wajib pula meng-qada salat yang ditinggalkan secara tidak sengaja.

Murid-murid Imam Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa pembunuhan secara disengaja terlalu berat dosanya bila dihapus dengan kifarat. Maka tiada kifarat dalam kasus pembunuhan disengaja. Hal yang sama dikatakan pula terhadap kasus sumpah palsu, dan tiada jalan untuk membedakan antara kedua masalah tersebut dan masalah meninggalkan salat dengan sengaja, karena sesungguhnya mereka mengatakan wajib meng-qada salat bila ditinggalkan dengan sengaja.

 

Tinggalkan Balasan

Search